EKSKLUSIVISME
I.
Pendahuluan
Dalam
kehidupan ditengah-tengah kemajemukan Agama di dunia ini, setiap orang memiliki
sifat masing-masing dalam agamanya. Ada beberapa sifat atau pun gambaran
seseorang dalam menyatakan kebenaran Agamanya. Untuk itu pada waktu yang
berbahagia ini kami akan coba memaparkan bagaimana sekelompok orang yang
bersikap Eksklusif terhadap Agamanya, dan bagaimana sikap eksklusif ini bisa
muncul, dan siapa tokoh terhadap kelompok ini. Semoga apa yang kami paparkan
pada saat ini bisa bermanfaat bagi study dan pengetahuan kita, akhir kata
tinggilah iman, tinggilah ilmu dan tinggilah pengabdian Solideo Gloria.
II. Pembahasan
2.1.
Pengertian
Eksklusivisme
Dalam
hal ini ada beberapa pengertian eksklusivisme, menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata
eksklusivisme terdiri dari dua kata, yaitu: “eksklusif” yang artinya terpisah
dari yang lain, khusus, dan “isme” yang berarti paham.[1]
Sedangkan KBBI mengatakan bahwa eksklusivisme berasal dari kata “eksklusif”
yang artinya terpisah dari yang lain atau dapat juga diartikan sebagai paham
yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.[2]
Dalam buku Dialog Kritik dan Identitas Agama yang ditulis oleh Th. Sumartana,
berpendapat bahwa eksklusivisme merupakan suatu sikap menutup diri dari
pengaruh agama lain, ingin mempertahankan keaslian dan kemurnian pribadinya.[3]
Th. Kobong mengatakan bahwa eksklusivisme merupakan suatu sikap yang arogan
terhadap agama yang lain, yang membatasi kasih Allah yang tidak terbatas itu,
mengurung Allah dalam sistem nilai-nilai yang dibuat oleh manusia itu sendiri.[4]
Dari keseluruhan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa eksklusivisme
merupakan suatu sikap menutup diri sebuah agama dari agama lainnya yang dalam
artian bahwa ada suatu pemahaman bahwa satu agama tersebut menganggap dirinya
benar dan mempertahankan keaslian dan kemurnian pribadinya, dengan kata lain
bahwa sifat eksklusivisme ini memiliki sifat yang fanatis terhadap agama lain.
2.2.
Latar
Belakang Munculnya Eksklusivisme
Pandangan
Eksklusivisme berawal sejak Gereja mula-mula yang di mana pada dasarnya Gereja
mula-mula sampai masa Bapa-bapa Gereja menganut teologi tradisional, di mana
perjanjian baru ditafsirkan dalam terang panggilan untuk menerima Kristus
sebagai penyataan Allah yang tertinggi dan final. Karena itu gereja
memberitakan keselamatan dalam Yesus dan menolak kebenaran di luar keKristenan.
Dan kemudian pada abad pertengahan kelompok eksklusivisme dimotori oleh Roma
Katolik yang berpendapat bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (eklesiocentrisme
atau extra
ecclesiam nulla salus), pandangan ini dikukuhkan pada konsili orange
pada tahun 1442. Eksklusivisme gerakan misi abad 19 dipelopori oleh kaum
protestan. Sikap eksklusif juga dipengaruhi oleh pewaris teologi oleh para
penginjil dan pengaruh perkembangan teologi fundamentalis dinegara-negara
Barat. Warisan teologi para Zendeling mempersulit teologi baru karena
menganggap dunia luar sebagai dunia kafir yang harus ditobatkan. Kemudian juga
ada ungkapan yang selalu menjadi kutipan yaitu bahwa keselamatan tidak ada di
dalam siapa pun juga selain di dalam Kristus sebab di bawah kolong langit ini
tidak ada yang mampu memberi keselamatan maka terkenallah istilah no other name yang menjadi simbol
tentang tidak adanya keselamatan di luar Kristus.[5]
Eksklusivisme
bertolak dari keyakinan bahwa Yesus Kristus merupakan penyataan final, di mana
Yesus sebagai satu-satunya kebenaran dan keselamatan mutlak bagi manusia di
dunia tanpa mengenal latar belakang apa pun. Kelompok Eksklusivisme memegang
kuat universalitas dan patrikularitas yang mana pada umumnya dianut oleh
kelompok injili yang menyatakan bahwa Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan
keselamatan yang berimplikasi pada pengakuan bahwa tidak ada keselamatan di
luar Tuhan Yesus serta menolak jalan keselamatan apa pun. Untuk mempertegas
pandangan ini kelompok eksklusivisme berpijak pada premis Aristoteles yang
mengatakan bahwa kebenaran itu hanya satu bukan banyak atau plural. Kemudian
kelompok ekskulusivisme mempertajam perbedaan antara penyataan umun dan
penyataan khusus di mana penyataan umum atau teologi natural tidak bisa
menghasilkan pengenalan Allah yang menyelamatkan sedangkan penyataan khusus
merupakan penyataan Allah dalam dan melalui Yesus Kristus untuk menyelamatkan
manusia.[6]
2.3.
Dasar
Theologis dan Pandangan Eksklusivisme
Paradigma
eksklusivisme berangkat dari dua buah ide pokok yang bertolak belakang, di satu
sisi agama lain tak lepas dari keberdosaan manusia yang mendasar dan karena itu
tidak memiliki kebenaran, di sisi lain hanya Kristuslah yang menyediakan jejak
paling absah menuju keselamatan. Kristus bagi pemikiran ini bersifat unik,
normatif dan hakiki bagi keselamatan. Eksklusivisme ini mengambil sikap tegas
ketika menyinggung kekristenan dan agama-agama lain. Pemahaman teologis yang
menempatkan Kristus sebagai satu-satunya jalan kepada keselamatan, mengambil
dasar biblis yaitu:
1. Yoh.
14:6 “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang sampai
kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
2. Kis.
4:12 “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia,
sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada
manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.”[7]
3. 1 Tim. 2:5 “Karena
Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia,
yaitu manusia Kristus Yesus.”[8]
Jadi
tidak ada keselamatan di luar Yesus. Alkitab adalah kebenaran mutlak, diluar
kekristenan tidak ada kebenaran mutlak dan tidak ada keselamatan. Jadi bagi penganut
eksklusivisme, pengakuan terhadap kebenaran atau kuasa penyelamatan dari agama
atau tokoh agama lain merupakan suatu tamparan terhadap muka Allah, suatu
pencemaran terhadap apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus. Walaupun gereja-gereja
eksklusivif mau berdialog dengan umat percaya lainnya, namun dialog semacam ini
sering dimengerti hanya sebagai alat untuk membuat orang bertobat.[9]
Dalam
hal ini juga berdasarkan dasar eksklusivisme yang menekankan bahwa Yesus Kristus
adalah satu-satunya Juruslamat dan menempatkan gereja selaku pusat keselamatan
yang tergurat jelas dengan kalimat extra
ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan), maka ada dua bagian
model Eksklusivisme, yaitu:
ü Evangelikal
Konservatif
Model
ini menjelaskan bahwa Agama Kristen adalah satu-satunya agama yang benar.[10]
Tokoh dari model eksklusivisme ini adalah Karl Barth, ia memutuskan bahwa semua
manusia hanya dapat mengenal Yesus Kristus melalui wahyu dan satu-satunya wahyu
adalah Yesus Kristus. Kristen adalah sebagai agama yang benar, wahyu dan
keselamatan tidak ada dalam agama lain. Dalam hal ini dalam deklarasi Frankfurt
dinyatakan bahwa jika seseorang yang bukan Kristen meninggal tanpa pengetahuan
tentang Yesus Kristus, maka mereka binasa.[11]
ü Protestan
Arus Utama
Model
ini menjelaskan bahwa agama-agama lain mengandung penyataan, namun tidak ada
keselamatan.[12]
Tokoh dari model ini adalah Hendrik Kraemer yang mempunyai sikap menerima
kebaikan, kebenaran, ideology budaya lain, walaupun tujuannya adalah untuk
mengubah mereka menjadi Kristen. Wahyu ada namun tidak ada keselamatan, model
ini mengginakan kearifan lokal walaupun tujuannya adalah untuk mengubah agama
lain inilah yang disebut kontekstualisasi, mencoba memandang apa yang positif dari agama lain. Kraemer
berpendapat bahwa Allah telah memberi penyataan umun kepada semua agama tetapi
penyataan khusus hanya diberikan bagi orang Kristen.[13]
2.4.
Ciri
khas Eksklusivisme
Dalam hal ini dikenal istilah no other name, yang mana istilah ini
menjadi simbol tentang tidak adanya keselamatan di luar Yesus Kristus. Ada
beberapa ciri khas dari eksklusivisme yang dipaparkan oleh Stevri I. Lumintang,
yaitu:
1. Tidak
ada Allah lain kecuali Allah Tritunggal
2. Seluruh
Alkitab dan hanya itulah kebenaran yang mutlak
3. Yesus
Kristus adalah Juruselamat dunia satu-satunya
4. Setiap
manusia di dunia adalah berdosa, terpisah dari Allah dan menuju kebinasaan
5. Keselamatan
merupakan pemberian anugerah Allah dan tidak dapat dikerjakan sendiri
6. Keselamatan
hanya diterima oleh pribadi yang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus
Kristus
7. Barang
siapa yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus Kristus akan dihakimi oleh
kedatangan-Nya yang kedua dan akan menderita kebinasaan kekal
8. Tugas
utama dalam dunia untuk Gereja adalah memanggil orang agar bertobat, percaya
dan menjadi murid Tuhan Yesus Kristus.[14]
2.5.
Tokoh-Tokoh
Eksklusivisme
1.
Karl
Bart
Pemahaman
Karl Barth mengenai agama-agama dalam kaitannya dengan penyataan kristiani
ditulis sekitar tahun 1930-an yang ketika ia berada di puncak penyerangannya
atas gelombang teologi liberal yang melanda Eropa waktu itu. Barth menegaskan
posisi teologisnya atas agama-agama lain dengan mengatakan bahwa agama adalah
bentuk ketidakpercayaan (Religion as Unbelief).
Penyataan adalah pemberian diri dan manifestasi dari Allah sendiri manusia
dapat mengenal Allah bukan berdasar kemampuannya sendiri, melainkan karena
Allah menyediakan diri untuk dikenal dan disapa. Upaya manusia untuk mengenal
Allah dari sudut pandangnya sendiri merupakan suatu upaya yang sia-sia,
sehingga dapat dikatakan juga bahwa upaya ini menunjukkan suatu
ketidakpercayaan.[15]
Pandangan
Karl Barth bertolak dari pandangan bahwa Yesus Kristus adalah kepenuhan wahyu
Allah. Dalam diri Kristrus, penyataan diri Allah kepada manusia menjadi
konkret, final, dan definitif. Karena itu satu-satunya perbedaan agama Kristen
dan agama-agama lain ialah bahwa agama Kristen berdiri di tempat terang,
sementara agama-agama lain dalam bayang-bayang. Barth menganalogikan Kristus
bagai matahari yang menerpa bumi, satu bagian terkena (agama Kristen) dan
bagian yang lain ada dalam bayang-bayang (agama-agama lain) bahkan dalam
kegelapan. Barth menegaskan bahwa rahmat itu hanya dalam kaitannya dengan Yesus
Kristus, rahmat bagi manusia mengalir dari Salib Kristus. Karena rahmat yang
dianugerahkan kepada manusia tidak terlepas dari Kristus. Barth yakin, hanya
dalam Yesus Kristus kita mengalami Rahmat yang mendamaikan kita dengan Allah.[16]
Dalam
hal ini dikatakan bahwa Barth berada dalam tradisi rasionalisme yang
mengutamakan pendekatan a priori yang
di mana terlalu berat sebelah memandang agama lain, bahkan cenderung bersikap
tak adil kepada mereka. Pendekatan ini juga membuat Barth terkesan arogan dan
tak adil terhadap umat beragama lain.[17]
2.
Hendrik
Kraemer
Hendrik
Kraemer menyatakan bahwa penekanan Barth yang amat negatif terhadap klaim
ketidakpercayaan agama-agama amat berbahaya dan tidak adil. Maka ia adalah
penganut eksklusivisme, yang lebih memperhitungkan keberadaan agama-agama non-kristen.
Kraemer tidak terlalu ekstrim untuk menilai agama lain, ia masih memberi
perhatian pada kenyataan hidup agama lain. Jika dibandingkan dengan Barth yang
menekankan sikap a priori terhadap
agama-agama lain, sedangkan Kraemer menggunakan pendekatan a posteriori sebelum mengajukan penilaian teologis atas mereka. Di
mana dalam hal ini Kraemer membela suatu sikap perjumpaan dengan agama-agama
lain. Sikap Kramer ini juga terlihat menunjukkan kedekatannya pada teologi Emil
Brunner, di mana Kraemer mengutip kalimat tegas Brunner yang ditulis dalam Revelation and Reason, tesis Alkitab
mengenai ‘penyataan asali’ (Original
Revelation). Mereka memandang agama-agama lain, sekalipun tetap dalam
terang Yesus Kristus.[18].
Dengan kata lain ia membuka diri dengan agama-agama lain, bahwa setiap agama
harus dinilai dan dianalisis dalam terang pemahaman totalitas keberadaan
agama-agama lain.[19]
2.6.
Kelebihan
dan Kelemahan Eksklusivisme
Kelebihan
dari sifat eksklusivisme ini adalah keteguhan dalam mempertahankan keyakinan
dan iman, di mana ada anggapan bahwa keyakinan yang dianut adalah yang paling
benar, dengan kata lain pendirian dari kelompok eksklusif tetap teguh.
Bahaya
eksklusivisme adalah adanya potensi mendiskriminasikan sesama manusia lainnya.
Ini terjadi ketika suatu agama hanya menganggap dirinya benar sendiri dan yang
lainnya tidak, sehingga hubungan dengan sesama menjadi hubungan yang tidak
setara. Sikap seperti ini pada gilirannya nanti akan menghasilkan hubungan yang
bersifat diskriminatif dari satu terhadap yang lain. Akibatnya berbagai
kekerasan yang bisa terjadi di mana atas nama Tuhan.[20]
Diakibatkan sikap ketertutupan dan kefanatikan dari eksklusivisme maka ini akan
dapat menghilangkan kebenaran-kebenaran agama lain bahkan hilanglah juga
kerukunan dan kedamaian antara umat beragama.
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa eksklusivisme adalah suatu sikap
menutup diri, memisahkan diri, dan sifat fanatisme terhadap agama lain, di mana
adanya anggapan bahwa apa yang diyakini itulah yang benar dan menganggap bahwa
kebenarannya itulah yang paling sempurna dan orang lain berada pada kegelapan
secara total atau sebahagian. Penganut sifat eksklusivisme ini memiliki sifat
fanatisme yang besar. Dasar doktrin yang utama dari eksklusivisme adalah bahwa
Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruslamat (Yoh. 14:6) dan juga di luar
gereja tidak ada keselamatan.
[1] Pusat Pembinaan dan Pengembangan
bahasa, KBBI, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1999), 253
[2] Poewadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai-Pustaka, 1996), 7-8
[3] Th. Sumartana, Dialog, Kritik dan Identitas Agama, (Jakarta:
BPK-GM, 1996), 78
[4] Th. Kobong, Pluralisme dan Pruralisme, Tim Balitbong PGI, (Jakarta: BPK-GM,
2003), 131
[5] Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), 56-57
[7] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, (Jakarta: BPK-GM,
2009), 50
[8] Stevri I. Lumintang, Theologi Abu-Abu Pluralisme Agama, 209
[9] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, (Jakarta: BPK-GM,
2003), 38
[10] Ibid, 35
[11] Paul F. Knitter, No Other Name?, (New York: Orbis Books,
1985), 79
[12] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, 35-37
[13] Mega Friswati Purba, Rekaman
Catatan Kuliah Teologia Agama-Agama, Medan:STT-AS, 26 Agustus 2013
[14] Stevri I. Lumintang, Theologi
Abu-Abu Pluralisme Agama, 209
[15] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, 51-52
[16] E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), 268-269
[17] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, 55
[18] Ibid, 55-56
[19] Togardo Siburian, Kerangka Theologi Religionum, Misioner, (Bandung:STT
Bandung, 2004), 59
[20] Supriatno, merentang sejarah
memaknai kemandirian, Jakarta:BPK-GM, 2009, 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar