Senin, 14 Oktober 2013

Teologi Agama-agama


EKSKLUSIVISME
I.     Pendahuluan
Dalam kehidupan ditengah-tengah kemajemukan Agama di dunia ini, setiap orang memiliki sifat masing-masing dalam agamanya. Ada beberapa sifat atau pun gambaran seseorang dalam menyatakan kebenaran Agamanya. Untuk itu pada waktu yang berbahagia ini kami akan coba memaparkan bagaimana sekelompok orang yang bersikap Eksklusif terhadap Agamanya, dan bagaimana sikap eksklusif ini bisa muncul, dan siapa tokoh terhadap kelompok ini. Semoga apa yang kami paparkan pada saat ini bisa bermanfaat bagi study dan pengetahuan kita, akhir kata tinggilah iman, tinggilah ilmu dan tinggilah pengabdian Solideo Gloria.
II.  Pembahasan
2.1.   Pengertian Eksklusivisme
Dalam hal ini ada beberapa pengertian eksklusivisme, menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata eksklusivisme terdiri dari dua kata, yaitu: “eksklusif” yang artinya terpisah dari yang lain, khusus, dan “isme” yang berarti paham.[1] Sedangkan KBBI mengatakan bahwa eksklusivisme berasal dari kata “eksklusif” yang artinya terpisah dari yang lain atau dapat juga diartikan sebagai paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.[2] Dalam buku Dialog Kritik dan Identitas Agama yang ditulis oleh Th. Sumartana, berpendapat bahwa eksklusivisme merupakan suatu sikap menutup diri dari pengaruh agama lain, ingin mempertahankan keaslian dan kemurnian pribadinya.[3] Th. Kobong mengatakan bahwa eksklusivisme merupakan suatu sikap yang arogan terhadap agama yang lain, yang membatasi kasih Allah yang tidak terbatas itu, mengurung Allah dalam sistem nilai-nilai yang dibuat oleh manusia itu sendiri.[4] Dari keseluruhan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa eksklusivisme merupakan suatu sikap menutup diri sebuah agama dari agama lainnya yang dalam artian bahwa ada suatu pemahaman bahwa satu agama tersebut menganggap dirinya benar dan mempertahankan keaslian dan kemurnian pribadinya, dengan kata lain bahwa sifat eksklusivisme ini memiliki sifat yang fanatis terhadap agama lain.
2.2.   Latar Belakang Munculnya Eksklusivisme
Pandangan Eksklusivisme berawal sejak Gereja mula-mula yang di mana pada dasarnya Gereja mula-mula sampai masa Bapa-bapa Gereja menganut teologi tradisional, di mana perjanjian baru ditafsirkan dalam terang panggilan untuk menerima Kristus sebagai penyataan Allah yang tertinggi dan final. Karena itu gereja memberitakan keselamatan dalam Yesus dan menolak kebenaran di luar keKristenan. Dan kemudian pada abad pertengahan kelompok eksklusivisme dimotori oleh Roma Katolik yang berpendapat bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (eklesiocentrisme atau extra ecclesiam nulla salus), pandangan ini dikukuhkan pada konsili orange pada tahun 1442. Eksklusivisme gerakan misi abad 19 dipelopori oleh kaum protestan. Sikap eksklusif juga dipengaruhi oleh pewaris teologi oleh para penginjil dan pengaruh perkembangan teologi fundamentalis dinegara-negara Barat. Warisan teologi para Zendeling mempersulit teologi baru karena menganggap dunia luar sebagai dunia kafir yang harus ditobatkan. Kemudian juga ada ungkapan yang selalu menjadi kutipan yaitu bahwa keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Kristus sebab di bawah kolong langit ini tidak ada yang mampu memberi keselamatan maka terkenallah istilah no other name yang menjadi simbol tentang tidak adanya keselamatan di luar Kristus.[5]
Eksklusivisme bertolak dari keyakinan bahwa Yesus Kristus merupakan penyataan final, di mana Yesus sebagai satu-satunya kebenaran dan keselamatan mutlak bagi manusia di dunia tanpa mengenal latar belakang apa pun. Kelompok Eksklusivisme memegang kuat universalitas dan patrikularitas yang mana pada umumnya dianut oleh kelompok injili yang menyatakan bahwa Tuhan Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan yang berimplikasi pada pengakuan bahwa tidak ada keselamatan di luar Tuhan Yesus serta menolak jalan keselamatan apa pun. Untuk mempertegas pandangan ini kelompok eksklusivisme berpijak pada premis Aristoteles yang mengatakan bahwa kebenaran itu hanya satu bukan banyak atau plural. Kemudian kelompok ekskulusivisme mempertajam perbedaan antara penyataan umun dan penyataan khusus di mana penyataan umum atau teologi natural tidak bisa menghasilkan pengenalan Allah yang menyelamatkan sedangkan penyataan khusus merupakan penyataan Allah dalam dan melalui Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia.[6]
2.3.   Dasar Theologis dan Pandangan Eksklusivisme
Paradigma eksklusivisme berangkat dari dua buah ide pokok yang bertolak belakang, di satu sisi agama lain tak lepas dari keberdosaan manusia yang mendasar dan karena itu tidak memiliki kebenaran, di sisi lain hanya Kristuslah yang menyediakan jejak paling absah menuju keselamatan. Kristus bagi pemikiran ini bersifat unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan. Eksklusivisme ini mengambil sikap tegas ketika menyinggung kekristenan dan agama-agama lain. Pemahaman teologis yang menempatkan Kristus sebagai satu-satunya jalan kepada keselamatan, mengambil dasar biblis yaitu:
1.    Yoh. 14:6 “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
2.    Kis. 4:12 “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.”[7]
3.    1 Tim. 2:5 Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.”[8]
Jadi tidak ada keselamatan di luar Yesus. Alkitab adalah kebenaran mutlak, diluar kekristenan tidak ada kebenaran mutlak dan tidak ada keselamatan. Jadi bagi penganut eksklusivisme, pengakuan terhadap kebenaran atau kuasa penyelamatan dari agama atau tokoh agama lain merupakan suatu tamparan terhadap muka Allah, suatu pencemaran terhadap apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus. Walaupun gereja-gereja eksklusivif mau berdialog dengan umat percaya lainnya, namun dialog semacam ini sering dimengerti hanya sebagai alat untuk membuat orang bertobat.[9]
Dalam hal ini juga berdasarkan dasar eksklusivisme yang menekankan bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruslamat dan menempatkan gereja selaku pusat keselamatan yang tergurat jelas dengan kalimat extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan), maka ada dua bagian model Eksklusivisme, yaitu:
ü Evangelikal Konservatif
Model ini menjelaskan bahwa Agama Kristen adalah satu-satunya agama yang benar.[10] Tokoh dari model eksklusivisme ini adalah Karl Barth, ia memutuskan bahwa semua manusia hanya dapat mengenal Yesus Kristus melalui wahyu dan satu-satunya wahyu adalah Yesus Kristus. Kristen adalah sebagai agama yang benar, wahyu dan keselamatan tidak ada dalam agama lain. Dalam hal ini dalam deklarasi Frankfurt dinyatakan bahwa jika seseorang yang bukan Kristen meninggal tanpa pengetahuan tentang Yesus Kristus, maka mereka binasa.[11]
ü Protestan Arus Utama
Model ini menjelaskan bahwa agama-agama lain mengandung penyataan, namun tidak ada keselamatan.[12] Tokoh dari model ini adalah Hendrik Kraemer yang mempunyai sikap menerima kebaikan, kebenaran, ideology budaya lain, walaupun tujuannya adalah untuk mengubah mereka menjadi Kristen. Wahyu ada namun tidak ada keselamatan, model ini mengginakan kearifan lokal walaupun tujuannya adalah untuk mengubah agama lain inilah yang disebut kontekstualisasi, mencoba memandang  apa yang positif dari agama lain. Kraemer berpendapat bahwa Allah telah memberi penyataan umun kepada semua agama tetapi penyataan khusus hanya diberikan bagi orang Kristen.[13]
 2.4.   Ciri khas Eksklusivisme
Dalam hal ini dikenal istilah no other name, yang mana istilah ini menjadi simbol tentang tidak adanya keselamatan di luar Yesus Kristus. Ada beberapa ciri khas dari eksklusivisme yang dipaparkan oleh Stevri I. Lumintang, yaitu:
1.    Tidak ada Allah lain kecuali Allah Tritunggal
2.    Seluruh Alkitab dan hanya itulah kebenaran yang mutlak
3.    Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia satu-satunya
4.    Setiap manusia di dunia adalah berdosa, terpisah dari Allah dan menuju kebinasaan
5.    Keselamatan merupakan pemberian anugerah Allah dan tidak dapat dikerjakan sendiri
6.    Keselamatan hanya diterima oleh pribadi yang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus
7.    Barang siapa yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus Kristus akan dihakimi oleh kedatangan-Nya yang kedua dan akan menderita kebinasaan kekal
8.    Tugas utama dalam dunia untuk Gereja adalah memanggil orang agar bertobat, percaya dan menjadi murid Tuhan Yesus Kristus.[14]
2.5.   Tokoh-Tokoh Eksklusivisme
1.    Karl Bart
Pemahaman Karl Barth mengenai agama-agama dalam kaitannya dengan penyataan kristiani ditulis sekitar tahun 1930-an yang ketika ia berada di puncak penyerangannya atas gelombang teologi liberal yang melanda Eropa waktu itu. Barth menegaskan posisi teologisnya atas agama-agama lain dengan mengatakan bahwa agama adalah bentuk ketidakpercayaan (Religion as Unbelief). Penyataan adalah pemberian diri dan manifestasi dari Allah sendiri manusia dapat mengenal Allah bukan berdasar kemampuannya sendiri, melainkan karena Allah menyediakan diri untuk dikenal dan disapa. Upaya manusia untuk mengenal Allah dari sudut pandangnya sendiri merupakan suatu upaya yang sia-sia, sehingga dapat dikatakan juga bahwa upaya ini menunjukkan suatu ketidakpercayaan.[15]
Pandangan Karl Barth bertolak dari pandangan bahwa Yesus Kristus adalah kepenuhan wahyu Allah. Dalam diri Kristrus, penyataan diri Allah kepada manusia menjadi konkret, final, dan definitif. Karena itu satu-satunya perbedaan agama Kristen dan agama-agama lain ialah bahwa agama Kristen berdiri di tempat terang, sementara agama-agama lain dalam bayang-bayang. Barth menganalogikan Kristus bagai matahari yang menerpa bumi, satu bagian terkena (agama Kristen) dan bagian yang lain ada dalam bayang-bayang (agama-agama lain) bahkan dalam kegelapan. Barth menegaskan bahwa rahmat itu hanya dalam kaitannya dengan Yesus Kristus, rahmat bagi manusia mengalir dari Salib Kristus. Karena rahmat yang dianugerahkan kepada manusia tidak terlepas dari Kristus. Barth yakin, hanya dalam Yesus Kristus kita mengalami Rahmat yang mendamaikan kita dengan Allah.[16]
Dalam hal ini dikatakan bahwa Barth berada dalam tradisi rasionalisme yang mengutamakan pendekatan a priori yang di mana terlalu berat sebelah memandang agama lain, bahkan cenderung bersikap tak adil kepada mereka. Pendekatan ini juga membuat Barth terkesan arogan dan tak adil terhadap umat beragama lain.[17]
2.    Hendrik Kraemer
Hendrik Kraemer menyatakan bahwa penekanan Barth yang amat negatif terhadap klaim ketidakpercayaan agama-agama amat berbahaya dan tidak adil. Maka ia adalah penganut eksklusivisme, yang lebih memperhitungkan keberadaan agama-agama non-kristen. Kraemer tidak terlalu ekstrim untuk menilai agama lain, ia masih memberi perhatian pada kenyataan hidup agama lain. Jika dibandingkan dengan Barth yang menekankan sikap a priori terhadap agama-agama lain, sedangkan Kraemer menggunakan pendekatan a posteriori sebelum mengajukan penilaian teologis atas mereka. Di mana dalam hal ini Kraemer membela suatu sikap perjumpaan dengan agama-agama lain. Sikap Kramer ini juga terlihat menunjukkan kedekatannya pada teologi Emil Brunner, di mana Kraemer mengutip kalimat tegas Brunner yang ditulis dalam Revelation and Reason, tesis Alkitab mengenai ‘penyataan asali’ (Original Revelation). Mereka memandang agama-agama lain, sekalipun tetap dalam terang Yesus Kristus.[18]. Dengan kata lain ia membuka diri dengan agama-agama lain, bahwa setiap agama harus dinilai dan dianalisis dalam terang pemahaman totalitas keberadaan agama-agama lain.[19]
2.6.   Kelebihan dan Kelemahan Eksklusivisme
Kelebihan dari sifat eksklusivisme ini adalah keteguhan dalam mempertahankan keyakinan dan iman, di mana ada anggapan bahwa keyakinan yang dianut adalah yang paling benar, dengan kata lain pendirian dari kelompok eksklusif tetap teguh.
Bahaya eksklusivisme adalah adanya potensi mendiskriminasikan sesama manusia lainnya. Ini terjadi ketika suatu agama hanya menganggap dirinya benar sendiri dan yang lainnya tidak, sehingga hubungan dengan sesama menjadi hubungan yang tidak setara. Sikap seperti ini pada gilirannya nanti akan menghasilkan hubungan yang bersifat diskriminatif dari satu terhadap yang lain. Akibatnya berbagai kekerasan yang bisa terjadi di mana atas nama Tuhan.[20] Diakibatkan sikap ketertutupan dan kefanatikan dari eksklusivisme maka ini akan dapat menghilangkan kebenaran-kebenaran agama lain bahkan hilanglah juga kerukunan dan kedamaian antara umat beragama.
III.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa eksklusivisme adalah suatu sikap menutup diri, memisahkan diri, dan sifat fanatisme terhadap agama lain, di mana adanya anggapan bahwa apa yang diyakini itulah yang benar dan menganggap bahwa kebenarannya itulah yang paling sempurna dan orang lain berada pada kegelapan secara total atau sebahagian. Penganut sifat eksklusivisme ini memiliki sifat fanatisme yang besar. Dasar doktrin yang utama dari eksklusivisme adalah bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruslamat (Yoh. 14:6) dan juga di luar gereja tidak ada keselamatan.



[1] Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), 253
[2] Poewadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai-Pustaka, 1996), 7-8
[3] Th. Sumartana, Dialog, Kritik dan Identitas Agama, (Jakarta: BPK-GM, 1996), 78
[4] Th. Kobong, Pluralisme dan Pruralisme, Tim Balitbong PGI, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 131
[5] Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 56-57
[6] Stevri I. Lumintang, Theologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2004), 205-207
[7] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 50
[8] Stevri I. Lumintang, Theologi Abu-Abu Pluralisme Agama, 209
[9] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 38
[10] Ibid, 35
[11] Paul F. Knitter, No Other Name?, (New York: Orbis Books, 1985), 79
[12] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, 35-37
[13] Mega Friswati Purba, Rekaman Catatan Kuliah Teologia Agama-Agama, Medan:STT-AS, 26 Agustus 2013
[14] Stevri I. Lumintang, Theologi Abu-Abu Pluralisme Agama, 209
[15] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, 51-52
[16] E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 268-269
[17] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, 55
[18] Ibid, 55-56
[19] Togardo Siburian, Kerangka Theologi Religionum, Misioner, (Bandung:STT Bandung, 2004), 59
[20] Supriatno, merentang sejarah memaknai kemandirian, Jakarta:BPK-GM, 2009, 159

Tidak ada komentar:

Posting Komentar