Senin, 14 Oktober 2013

Teologia PL mengenai Israel sebagai Umat Perjanjian


Israel Sebagai Umat Perjanjian
I.                   Pendahuluan
Pada paper sebelumnya  kita telah membahas Allah sebagai pencipta dan pemelihara ciptaan. Dan pada kesempatan kali ini  kita akan membahas tentang Israel sebgai umat perjanjian, semoga sajian dipaper kami saat ini berguna bagi kita semua.
II.                Pembahasan
2.1.Sejarah Israel
Israel digunakan untuk menyebut keduabelas suku, yang menurut asal usulnya dari Yakub, yang disebut juga Israel (Kej 32:28).[1] Israel berasal dari bahasa Ibrani yaitu yisra’el, ‘Allah bergumul’, yakni nama baru yang diberikan Allah kepada Yakub sesudah malam pergumulan nya di Pniel.[2] “Israel” adalah nama yang dipilih sebelum bangsa itu sendiri ada. Dengan pemberian ‘nama’ itu si penyandang nama harus taat, takluk,, tunduk, patuh dan mengabdi  sepenuhnya kepada rencana Allah.[3]
Menurut tradisi yang paling awal, umat Israel adalah orang asing di tanah Mesir.[4] Alkitab menyatakan bahwa mereka berasal dari Mesopotamia. Kedua belas suku Israel bermigrasi ke Mesir selama masa paceklik. Pada mulanya mereka hidup makmur  di Mesir, tetapi keadaan itu merosot tajam dan mereka menjadi budak. Akhirya pada tahun 1250 SM mereka melarikan diri dari Mesir di bawa pimpinan Musa dan hidup sebagai nomanen, di semenanjung Sinai. Namun mereka tidak menganggap ini sebagai solusi permanen, kerena mereka yakin Tuhan mereka, TUHAN telah menjanjikan mereka negeri Kanaan yang subur.[5]
2.2.Pengertian Umat
Kata umat dalam PL adalah keseluruhan orang Israel yang dibedakan dari bangsa lain di dunia (Bil 23:9). Ini pun dikemukakan dalam PB (Luk 1:68; Rm 11:1-2); tetapi sebutan umata digunakan untuk umat Allah yang baru, yaitu orang-orang Kristen (Tit 2:14; 1Ptr 2:9).[6]
2.3.Pengertian Perjanjian
2.3.1.      Pengertian perjanjian secara umum
Perjanjian berasal dari kata “janji” yang memiliki arti perkataan dengan  menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat, persetujuan antara dua pihak dan syarat atau ketentuan yang harus di penuhi. Sedangkan pengertian dari perjanjian adalah persetujuan tertulis  dan dengan lisan yang dibuat dua pihak atau lebih dan masing-masing yang berjanji akan menepati apa yang telah di sepakati/ dijanjiakan.[7]
2.3.2.      Pengertian perjanjian dalam PL
Dalam bahasa Ibrani ‘perjanjian’ berasal dari kata Berith yang berangkali adalah suatu singkatan dari suatu akar kata yang berarti “makan”. Kata ini dipakai hingga 283 kali didalam kitab PL.  Semula berit adalah suatu perjamuan yaitu “perjamuan korban”, yang biasanya diadakan sebagai upacara penutupan pembuatan perjanjian. Kata karat dihubungkan dengan kata karat, yang berarti menyigar, membelah, sehingga kata karat berit berarti menyigar atau membelah korban yang dipersembahkan pada upacara pembuatan perjanjian itu, oleh sebab itu sehingga dapat disimpulkan pengertian “perjanjian” ini memang penting sekali di dalam kitab PL.[8]
2.4.Perjanjian Allah
Menurut kesaksian Alkitab bahwa ada beberapa kali perjanjian Allah dengan Umat Israel yang mencakup kehidupan atau perkembagan bangsa Israel tersebut, yakni Perjanjian Allah dengan Nuh(sebelum dan sesudah Air bah), Abraham (disegarkan kembali kepada Ishak dan Yakub), Perjanjian di Sinai dan Daud:[9]
1.      Perjanjian Allah dengan Nuh  (sebelum dan sesudah Air Bah)[10]
Istilah Perjanjian pertama kali muncul dalam Kej 6:18, Istilah ini menunjuk kepda perjanjian Allah kepada Nuh sebelum peristiwa air bah, Perjanjian sebelum air bah ini adalah perjanjian Allah, Dia sendirilah yang meneguhkannya. Penyaluran kasih karunia kepada Nuh ini mengakibatkan juga kewajiban-kewajiban yang sesuai dengan itu. Nuh dan keluarganya harus memasuki bahtera, dan harus membawa bersama, dan harus membawa bersama dengan dia sejumlah tertentu binatang-binatang dan burung-burung serta segala yang melata (Kej 6:18b-21).
Setelah air bah kunci perjanjian dalam Kej 9:9-17. Dan disini ada ciri-ciri yang mencolok yang perlu diperhatikan yaitu:
a.       Perjanjian itu disusun dan ditetapkan oleh Allah sendiri.
b.      Jangkauan perjanjian itu umum, meliputi Nuh, keturunannya, makhluk hidup. Jangkauan itu menunjukkan bahwa kasih karunia yang diberikan, tidak tergantung atas pengetian akali atau tanggapan baik dari pihhak yang dianugrahi.
c.       Perjanjian ini tanpa syarat; tiada perintah atau tuntutan yang dilampirkan.
d.      Bahwa hanya Allah yang bekerja dalam perjanjian ini, tidak ada sumbangan manusia sebagai perantara yang dengannya janji tersebut  dipenuhi.
e.       Perjanjian itu kekal.
Sebagai tanda perjanjian Allah denga Nuh yaitu busurNya diawan yang kita kenal sebagai Pelangi saat ini, yang tampak ketika selesai hujan turun ke atas bumi.
2.      Perjanjian Allah dengan Abraham
Perjanjian Allah dengan Abraham berbeda dengan Nuh, dimana dalam Kej 12: 1-3 Allah menjanjikan kepada Abraham bahwa dia akan menjadi bangsa yang besar.[11] Dalam perjanjian Allah dengan Abraham terdaapat ciri-ciri yaitu umum dan khusus, berikut adalah cirri-ciri yang yang ada dalam perjanjian Allah dengan Abraham.[12]
·         Ciri Umum
a.       Terdapat tiga janji yang diberikan yakni: pemilikan tanah Kanaan, pelipat gandaan keturunan Abraham dan janji bahwa Allah akan menjadi Allah baginya dan bagi keturunannya setelah dia (Kej 15:8; 18 dan Kej 17:6-8).
b.      Hanya Allah yang bekerja (Kej.15:8; 17:1-8).
c.       Keabadian ditekankan pada bobot  yang sama dengan dengan perjanjian kepada Nuh (Kej. 17:7,8).
d.      Peneguhan perjanjian itu diberikan dengan suatu sangsi yang tidak dapat dibatalkan (Kej 15:9-17).
Ciri-ciri ini menunjukkan bahwa perjanjian itu direncanakan, diurus, diteguhkan  dilaksanakan oleh Allah.
·         Ciri Khusus
a.       Perjanjian itu mempunyai sifat khusus yaitu penyelamatan (Kej 17:7-8).
b.      Perjanjian ini mengecualikan Ismael dalam jangkauannya (Kej 17:18-21).
c.       Sangsi yang meneguhkannya sangat khidmat (Kej 15:9-17).
d.      Dalam perjanjian ini keharusan menaati perjanjian dibebankan kepada Abraham dan keturunannya (Kej 17:10-14).
e.       Tanda perjanjian itu adalah sunat, suatu peraturan yang harus dilakukan oleh manusia (Kej 17:11), karena sunat menandai pencucian (bnd Kel 6:12,30; Im 19:23; 26:41; Ul 10:16).
Dalam  pembuatan perjanjian antara Allah dengan Abraham disertai dengan upacara perjanjian dalam Kej 15, itu sebenarnya dimaksud sebagai penguatan atau pengukuhan janji Allah yang diberikan. Dengan bentuk perjanjian itu Abraham dikuatkan di dalam imannya, bahwa Allah benar-benar akan memenuhi janji-janjiNya.[13]
Jadi dari pihak Allah “perjanjian” itu dimaksudkan untuk menguatkan iman Abraham, akan tetapi dipihak Abraham “perjanjian” itu harus menjadi jalan baginya guna menyatakan atau mengungkapkan imannya. Maksudnya ialah bahwa hidupnya harus dikuasai oleh apa yang telah ditentukan dalam perjanjian. Jadi, “perjanjian” itu bukanlah jalan untuk memperoleh keselamatan. Melainkan jalan guna merelealisasikan keselamatan yang telah diberikan atau yang dijanjikan kepadanya.[14]
Dan selain itu, Allah juga memberikan janji-Nya kepada Yakub yaitu berupa berkat dan tanah yang dijanjikan yaitu tanah Kanaan, dan Allah juga menggantikan nama Yakub dengan nama Israel, karena dia telah bergumul dengan Allah dan manusia, sehingga dengan pemberian nama ini Allah menyatakan, bahwa Allah telah mendengar doa Yakub dan bahwa Allah memberkati Yakub.[15]
3.      Perjanjian Allah dengan bangsa Israel di gunung Sinai
Perjanjian ini diadakan dengan Israel sebagai umat yang telah dipilih dalam kasih berdasarkan kedaulatan Allah.
Ada beberapa unsur-unsur dalam pemilihan Israel dugunung Sinai, yaitu:
a.       Israel dipilih berdasarkan kedaulatan Ilahi (Kel 2:25; Ul 4:37; 7:6-8; 8:17; 9:4-6; 14:2; Hos 13:5; Am 3:2)
b.      Perjanjian itu dibuat dengan umat yang di tebus (Kel 6:6-8; 15:3; 20:2; Ul 7:8; 9:26; 13:5; 21:8)
c.       Israel telah diangkat untuk berhubungan dengan Allah sebagai anak dengna Bapak (Kel 4:22-23; Ul 8:5; 32:6; 1 Taw 29:10;  Yes 63:16;  64:8; Yer 3:19; 31:9; Hos 11:1; Mal 1:6; 2:10)
d.      Perjanjian di Sinai ini di buat menurut Perjanjian dengan Abraham dan sebagai pemenuhannya (Kel 2:24 ; 3:16; 6:4-8; Mzm 105:8:12, 42-45;106:45).
Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan, bahwa perjanjian di Sinai itu tidak dibuat dengan cara yang akan menempatkan perjanjian itu bertentangan dengan perjanjian Abraham. Dan menunjukkan pula, bahwa konsepsi yang sama pada penyaluran yang berdaulat dari kasih karunia memerintah dalam perjanjian ini adalah seperti dalam perjanjian-perjanian terdahulu. [16]
Namun ada perbedaan yang sangat mencolok antara perjanjian yang dibuat Allah dengan Abraham denga perjanjianNya dengan Israel digunung Sinai, yaitu:
1.      Perjanjian di gunung Sinai memiliki sifat bersyarat, artinya: perjanjian ini menuntut syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Isarel, sedangkan dengan Abraham tidak. Yang termasuk sifat bersyarat itu ialah 1. Adanya unsure Kitab Perjanjian (Kel 24:7) yang berisi segala Firman Allah yang harus dipenuhi oleh umat Israel (Kel 20:22-23:33), 2. Perjanjian di Sinai didasarkan atas persetujuan bersama, 3. Adanya kemungkinan dalam perjanjian ini, jikalau Israel memutuskan perjanjian Allah, maka Allah juga akan bertindak demikian (Im 26:44).
2.      Penekanan terhadap janji. Maksudnya bentuk perjanjian kepada Abraham  hanya sebagai pengukuhan dan jaminan akan terlaksana apa yang telah dijanjikan. Akan tetapi kepada Israel di Sinai apabila Israel sudah menerima berkat perjanjian, Israel mempunyai kewajiban, yaitu Israel harus berbakti kepada Allah menurut aturan-aturan yang telah diberikan.
3.      Sifat kebangsaan dan  sifat sementara, maksudnya ialah apabila bangsa Israel sudah tuba di tanah Kanaan mereka harus hidup berbeda dengan bangsa di sekitarnya. Dan janji Allah dengan bangsa ini bersifat sementara.[17]
4.      Perjanjian dengan Daud[18]
Dalam perjanjian ini, Allah memberikan janji-Nya bersifat Mesianis, dan Mesianis itulah yang menjadi perjanjian Allah bagi umat-Nya, karena Mesias itu sendiri yang menjadi perjanjian, karena berkat-berkat dan perbekalan-perbekalan  perjanjian Allah dengan umat Allah itu. Dan Mesias  itu merupakan perwujudan kehadiran Tuhan ditengah-tengah umat-Nya, dan yang menjadi ciri khas yang menonjol dalam perjanjian ini adalah keyakinan, keteguhan janji-janji yang diberikan (bnd Maz 89:3; 2 Sam 23:5).
2.5.Latar belakang pemilihan Israel
Berita Alkitab mengenai sejarah Israel sebagai bangsa pilihan dimulai dengan panggilan Allah kepada Abraham untuk menjadi bapa dari suatu bangsa baru (Kej 12:1-3 ).[19] Mengapa Allah memilih Abraham? Sedangkan Abraham tidak selalu baik, terbukti untuk menyelamatkan dirinya sendiri ia menipu Firaun dari Mesir dan Abimelekh dari Gerar menyebut Sara sebagai adiknya (Kej 12:11-13; 20:2-12). Allah tidak memilih yang paling baik, tetapi memilih mereka yang dimaksudkan untuk dijadikan paling baik.[20]
Jika ditanyakan “Allah semacam apakah yang dipercayai Israel kuno?” jawaban Barton adalah Allah Perjanjian, yaitu Allah yang telah memilih mereka dari antara bangsa-bangsa, dan yang telah mengikatkan diriNya kedalam suatu hubungan kesepakatan dengan mereka. Di satu pihak Allah berjanji memegang janjiNya daari tindakan pemilihanNya; di pihak lain, mereka berkewajiban mempertahankan janji itu dengan hidup setia kepadaNya, meyembah dan menaati perintah-perintahNya.[21]
Dalam kitab PL membenarkan bahwa pokok ini sudah lama termasuk dalam rentetan pokok-pokok kepercayaan umat Israel. Bahwa umat itu “berasal”  daripada Abraham, Ishak, Yakub, dan hal ini tidaklah semata-mata merupakan bahan pengatahuan sejarah, dan tidaklah semata-mata menjadi suatu fakta dari masa lampau yang selayaknya diperingati. Allah pernah bertindak terhadap bapa-bapa leluhur. Allah pernah memilih, memanggil, mengangkat mereka, Allah pernah menyatakan diriNya  kepada mereka, pernah mengikat perjanjian dengan mereka dan pernah menjanjikan mereka suatu keturunan yang besar dan suatu tanah milik. Oleh karena itu Allah lah yang bertindak terhadap bapa leluhur, dan dengan memakai para bapa leluhur itu berarti merujuk kepada bahwa Allah lah berkuasa memberi peristiwa-peristiwa itu dan berlaku sepanjang masa.[22]
2.6.Israel sebagai umat Perjanjian
Pokok peristiwa sejarah pemilihan bangsa Israel sebagai umat Perjanjian Allah memiliki sejarah yang panjang, yaitu berawal dari dari pemanggilan Abraham, oleh karena itu untuk pertama kalinya kita yang mendengar berita tentang asal-usul umat Israel. Dan peristiwa itu lah yang merupakan dasar berdirinya umat Israel.[23]
Dan tujuan Allah memilih bangsa Israel sebagai umat perjanjian adalah supaya mereka menjadi bangsa yang baru, dimana pemilihan Allah itu bukanlah perbuatan yang sewenang-wenang, seolah-olah Allah memilih suatu bangsa yang telah ada dan merendahkan yang lainnya dan menjadi kesaksian kepada bangsa-bangsa lain yang akan diberkati melalui pemilihan mereka.[24] Didalam pemilihan bangsa Israel oleh Allah adalah supaya umat itu mendapat berkat berkat dan keselamatan karena dikhususkan Allah bagi diri-Nya sendiri (Mazmur 33:12), dan supaya melalui bangsa Israel yang keluar dari perbudakan Mesir, nama Allah dimuliakan melalui perjalanan mereka dari tanah perbudakan, sehingga menunjukkan keterpujian-Nya di hadapan dunia (Yesaya 43:20; Mazmur 79:13; 96:1-10), dan akan memberitakan perkara besar yang dilakukan-Nya (Yesaya 43:10-12; 44:8).[25]
Oleh karena itu maka perjanjian Allah dengan Israel yang diadakan di gunung Sinai, dimana Israel diangkat menjadi umat Allah yang dibawa ke tanah Kanaan, adalah pemenuhan janji Allah kepada Abraham (Kej 17).[26]
Israel dipilih oleh Allah karena Israel lebih disukai Allah dibanding bangsa-bangsa lain. Hal itu bukan karena kebaikan Israel, melainkan karena janji-janji Allah yang telah diberikan kepada nenek-moyang Isreal, atau kerena perjanjian Allah yang telah diadakan Allah dengan nenek- moyang Israel.[27] Dan dalam pemilihan Israel sebagai umatNya, Ia memilih dengan sukarela, menurut kedaulatan, kehendak dan pertimbanganNya sendiri. Karena pada hakekatnya, Allah berhak unutk memilih siapa saja yang disukaiNya namun dalam pemilihan ini bukna berarti Allah memilih dengan sewenang-wenangnya. Allah tidak memandang muka, tidak menganakemaskan yang seorang sambil menganaktirikan yang lain, sebagaimana manusia memilih orang yang disukainya, tetapi alasan Allah memilih orang-oranngNya bahkan umatNya itu karena didasarkan kehendak bebasNya dalam memilih  dan pada pengasihanNya yang bebas, pengasihan yang tidak beralaskan keadaan atau sikap orang-orang itu, melainkan semat-mata berpangkal pada kehendak dan rencanaNya sendiri.[28]


[1] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 158
[2] F. F Bruce, Israel dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L pny J. D. Douglas, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina kasih, 2008), 447
[3] Pardomuan Munthe, Allah memilih Abraham, (Jurnal teologi STT Abdi Sabda Medan Edisi XXVII, Medan: STT Abdi Sabda, 2012), 26
[4] Browning, Kamus Alkitab, 158
[5]  Karen Armstrong, Jerusalem Satu Kota Tiga Iman, (Surabaya: Risalah Gusti, 2004), 27-29
[6] Browning, Kamus Alkitab, 469
[7] Poerwadarmita, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 351
[8] Harun Hadiwijono,  Iman Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 262
[9] J. Murray, Janji, Perjanjian dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L, pny J. D. Douglas, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), 480-483
[10] Ibid, 480
[11] William Dyrness, Tema-tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2009), 99
[12] J. Murray, Janji, Perjanjian dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L, 480-481
[13] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 264
[14] Ibid, 264
[15] F. L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah I Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 195-196
[16] J. Murray, Janji, Perjanjian dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I A-L, 481
[17] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 268-269
[18] Ibid, 482
[19] David F. hinson, Sejarah Israel pada Zaman Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 1995), 41
[20] Richard Wurmbrand, 100 permenungan dibalik Terlai Besi, (Yogyakarta, Yayasan Andi, 1991),  204
[21] Pardomuan Munthe, Allah memilih Abraham, 28
[22] C. Barth, Theologia Perjaanjian Lama I, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 86-87
[23] C. Barth, Teologi Perjanjian Lama I, 88
[24] W.S. Lasor, Pengantar Perjanjian Lama 1,(Jakarta, BPK-GM, 2009) 255-256
[25] C. Barth, Teologi Perjanjian Lama I,  90-91
[26] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 267
[27] Ibid, 294
[28] C. Barth, Teologi PL I, 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar