Senin, 14 Oktober 2013

Etika


KRITIK TERHADAP ETIKA UTILITARIANISME
I.                   Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Dan tidak pernah lepas dari segala perbuatan yang tidak bermoral, untuk itu etika akan memandang dan menilai perbuatan yang dilakukan manusia tersebut.
Etika yang didefenisikan secara sederhana adalah kebiasaan dan istilah katanya berasal dari kata “ethos” atau “ethikos” berarti kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati dengan mana seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan atau tindakan. Etika merupakan penentuan perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk dan menjadi sebuah pedoman hidup manusia. Dalam sajian kali ini kita akan membahas kritik terhadap Etika Utilitarianisme. Semoga sajian kami kali ini menambah pengetahuan kita.

II.                Pembahasan
2.1  Pengertian Utilitarianisme
Secara etimologi Utilitarianisme berasal dari bahasa Latin yaitu “Utilis” yang berarti berguna.[1] Artinya bahwa sesuatu perbuatan adalah baik jika membawa yang bermanfaat/ berguna bukan hanya untuk orang tertentu atau bukan hanya untuk satu orang saja melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rumusnnya, Utilitarianisme adalah kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan di lihat dari the greatest happines of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumalah orang terbesar).[2] Arti lain juga bahwa Utilitarianisme berasal dari bahasa latin yang berarti berfaedah,[3] dan di dalam Kamus umum bahasa indonesia faedah adalah guna, manfaat atau sesuatu yang menguntungkan.[4] Jadi Utilitarianisme adalah sistem etika yang menekankan akibat suatu perbuatan untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu benar atau salah tanpa memperdulikan motivasi dan kemauan dalam melakukan perbuatan tersebut.
  
2.2  Latarbelakang Utilitarianisme
Tokoh yang mengutarakan Utilitarianisme adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dari Inggris. Bentham merumuskan suatu semboyan yang terkenal yaitu “Utilitarianisme sebagai the greatest happines of the greatest number”.[5] Secara sederhana ia melihat persoalan bagaimana nilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial, politik, ekonomi, secara moral bergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran masrayakat yang ditentukan oleh kegunaannya dalam memajukan kesejahteraan bersama dan juga orang lain.[6] Dan dalam perkembangannya paham Utilitarianisme dikaitkan kedalam Etika yang disebut Etika Utilitarianisme. Karena paham ini menganut perbuatan yang menyangkut segala bidang hidup baik secara pribadi, sosial etis, moral dan religius. Maka Etika Utilitarianisme adalah suatu sistem Etika yang menekankan bahwa untuk menentukan suatu perbuatan benar atau salah adalah akibat dari perbuatan itu.[7]

2.2.1        Tokoh-Tokoh Utilitarianisme
1.      Jeremy Bentham
Jeremy Bentham, yang terkenal sebagai salah seorang tokoh positivisme hukum, dilahirkan di London pada 15 Februari 1748. Ia merupakan keturunan praktisi hukum, ayah dan kakeknya merupakan jaksa. Pemikiran rasional ala abad pencerahan yang diwariskan ayahnya sangat mempengaruhi. Berbeda dengan apa yang ditulis Hendry J. Schmandt dalam Buku Filsafat Politik Kajian Historis dari Zaman Kuno Sampai Zaman Modern, bahwa ayah Bentham adalah seorang pengacara (bukan jaksa) kaya yang ingin sekali melihat anaknya duduk di Woolsack. Setelah lulus dari Oxford, Bentham mengambil studi hukum dan diizinkan menjalani profesi tahun1769.[8]
Pemikiran hukum Bentham banyak diilhami oleh karya David Hume (1711-1776). Hume merupakan seorang pemikir dengan kemampuan analisis luar biasa, yang meruntuhkan dasar teoritis dari hukum alam. Hume pernah mengajarkan bahwa “sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan,” dan “mengapa demikian”, secara eksplisit dikemukan sendiri oleh Hume, dia menjawab : “sepertinya adalah sesuatu yang nyata bahwa keadaan yang memberi kegunaan, dalam semua subjek, merupakan sumber dari pujian dan sambutan baik; bahwa ini selalu diserukan dalam semua keputusan moral tentang kebaikan dan kelemahan suatu tindakan: bahwa ini merupakan sumber tunggal penghargaan tinggi yang diberikan kepada keadilan, ketaatan, penghormatan, kesetiaan, dan kesucian: bahwa ini tidak bisa dipisahkan dari semua kebajikan sosial yang lain, kemanusiaan, kemurahhatian, kedermawanan, kesantunan, toleran, dan sikap tidak berlebihan; dan boleh dikatakan bahwa ini merupakan landasan moral, yang mengacu kepada umat manusia dan kepada sesama makhluk”.

2.      John Stuart Mill
Lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 – meninggal di Avignon, Perancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun. Dia adalah seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti filsafat Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari bahasa, kimia, dan matematika.
John Stuart Mill merupakan salah satu tokoh Utilitarianisme yang terkenal dalam menelurkan konsep kebebasan, yang dituangkan secara komprehensif di dalam bukunya On Liberty. Mill seorang utilitarian yang mencoba untuk memahami kebahagiaan secara lain, dimana menurutnya kebahagiaan, bukanlah semata bersifat fisik, melainkan lebih luas dari itu, dan Mill pun memperkenalkan sebuah konsep kebahagiaan individu, yang sebelumnya, para filsuf utilitarian kurang menyentuh hal tersebut. Menurut Mill tentunya berbeda terkait kebahagiaan individu dengan kebahagiaan umum. Suara hati menjadi dasar moralitas kaum utilitarian, sehingga akan menimbulkan implikasi didalam kehidupan sehari-hari terkait hubungannya dengan orang lain, dan disanalah eksistensi sebagai makhluk sosial menjadi nyata.
John Stuart Mill (1806-1873) dalam bukunya “Utilitarianism” mengembangkan  yaitu :
1.             Kesenangan dan kebahagiaan bukan di ukur secara kuantitatif, ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah.
2.             Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlihat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama.[9]

2.3  Unsur-unsur Utilitarianisme
Dalam Utilitarianisme ditemui empat unsur yang menjadi tolak ukur yang menghasilkan faedah:
a.       Suatu tindakan diukur dari akibatnya.
b.      Akibat yang mana disebut baik, Utulitarianisme memberi jawaban yaitu, akibat yang berguna itu untuk menunjang apa yang bernilai bagi diri sendiri atau apa yang baik bagi diri sendiri.
c.       Apa yang baik bagi diri sendiri Utilitarianisme memberi jawaban yang membahagiakan, kesenangan, kenikmatan. Apa yang diberi kesenangan yang nikmat (pleasure) dan bebas dari pain karena itulah yang diinginkan setiap orang.
d.      Kebahagiaan, kenikmatan dan kesenangan berlaku untuk semua orang.[10]

2.4  Aliran-Aliran Utilitarianisme
Aliran Utiliatarisme terbagi atas dua bagian yaitu :

a.             Aliran Utilitarianisme Klasik (Perbuatan)
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di United Kingdom dan aliran ini berpengaruh kseluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Tujuan dari paham ini sebagai dasar etis untuk membaharui hukum inggris, khususnya hukum pidana. Jeremy Bentham ingin meniptakan suatu teori abstrak tetapi mempunyai maksud sangat konkrit. Ia berpendapat tujuan hukum adalah “memajukn kepentingan para warga Negara dan bukan memaksakan perintah-perintah illahi atau melindungi yang disebut dengan hak-hak kodrati”.[11] Untuk itu aliran ini menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah pemerintahan yang berdaulat yaitu ketidaksenangan dan kesenangan, kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Aliran ini menekankan prinsip kegunaan yang harus diterapkan secara kuantitatif belaka, karena kualitas kesenangan harus sama dan merupakan satu-satunya aspek yang bisa berbeda adalah kuantitasnya.

b.             Aliran Utilitarianisme Aturan
Aliran ini menerapkan suatu prinsip bahwa utilitarianisme ini tidak menerapkan kepada perbuatan-perbuatan yang kita lakukan atau kritikan terhadap utilitarianisme. Hal ini dikemukakan oleh filsuf Inggris-Amerika, yaitu Stephen Toulmin beserta kawan-kawannya menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas suatu perbutan melinkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita. Dengan demikian perbuatan baik di lihat secara moral bila disesuaikan dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.[12]
  
2.5  Kekuatan dan Kelemahan Etika Utiliarianisme
1.      Kekuatan Etika Utilitarianisme
a.       Rasionalitasnya, maksudnya utilitarianisme memberi kita kriteria yang pasti dan rasional mengapa suatu tindakan itu di anggap baik. Ada dasar yang rasional mengapa kita mengambil dan memilih kebijakan atau tindakan tertentu bukan yang lain.
b.      Utilitarianisme, yaitu setiap orang di beri kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak, tidak ada pemaksaan dari pihak manapun.
c.       Universal, maksudnya mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang. suatu tindakan di nilai secara moral bukan karena tindakan itu mendatangkan manfaat besar bagi orang yang melakukan tindakan itu, melainkan karena tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar bagi semua orang yang terkait.[13]
    
2.      Kelemahan Etika Utilitarianisme
Prinsip Utilitarianisme mengajarkan tangungjawab atas prilaku dan perbuatan manusia dan juga sebagai prinsip moral. Karena itu Utilitarianisme ini memiliki kelemahan, yaitu :
a.       Manfaat merupakan seuah konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis menimbulkan kesulitan untuk mencapainya, karena manfaat bagi satu manusia dengan manusia lainnya berbeda.
b.      Etika Utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
c.       Tidak pernah menganggap serius kemauan dan motivasi baik seseorang.
d.      Untuk membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan, demi kepentingan mayoritas artinya walaupun tindakan merugikan bahkan melanggar hak dan kepentingan kelompok kecil tertentu, tetapi menguntungkan sebagian besar orang yang terkait, tindakan itu tetap di nilai baik dan etis.[14]

2.6  Kritik Terhadap Sistem Etika Utilitarianisme
Kritik Etika Kristen kepada Etika Utilitarianisme yaitu:
a.       Keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan adalah tidak salah, Allah juga mengkehendaki agar kita bahagia dan mengalami kenikmatan hidup dan juga dapat dikatakan tujuan dari segala perbuatan yang berguna, berfaedah bagi kita dan untuk orang lain. Prinsip utilitarianisme yang menekankan kebahagiaan bagi sipelaku dan orang lain adalah positif (Flp. 2:4). Namun kenikmatan, kebahagiaan tidak dapat dijadikan standart untuk menentukan perbuatan itu benar atau salah, karena kebahagiaan itu memerlukan standart.

b.      Bagaimana kita dapat mencari bahagia, nikmat dan faedah bagi banyak orang dan untuk diri sendiri sedangkan yang nikmat bagi kita belum tentu nikmat bagi orang lain.

c.       Kewajiban moral bukan hanya mengenai kesejahteraan orang banyak, melainkan juga sikap yang adil. Prinsip untuk mengatakan kebahagiaan untuk banyak orang justru menimbulkan bertindak tidak adil dan dapat jatuh pada sikap menghalalkan semua cara untuk satu tujuan.

d.      Tujuan yang baik seharusnya dicapai dengan cara yang baik dan atas dasar yang baik. Mencapai tujuan yang baik tidak harus melanggar norma, sementara utilitarianisme tidak mempunyai dasar dan norma yang jelas untuk bertindak.[15]

 2.7  Pandangan Kristen Terhadap Etika Utilitarianisme
 Utilitarianisme adalah perbuatan yang menekankan suatu tujuan yang nikmat, bahagia ataupun berguna. Artinya teori ini melihat dan mengutamakan akibat dari perbuatan itu tanpa peduli motivasi dan kemauan dalam bertindak. Sedangkan Etika Kristen adalah suatu bidang ilmu teologi yang memberikan apa yang benar dan apa yang salah, dan ukuran evaluasi untuk menentukan tindakan yang benar atau salah. Maka pandangan Kristen terhadap Etika utilitarianisme yaitu perbuatan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan untuk setiap kelakuannya di dunia terhadap ciptaan, sesama dan hubungannya dengan Allah. Jadi, Etika Kristen sangat berbeda dan menentang itu, karena titik tolak perbuatannya harus dari perintah Allah.

III.             Kesimpulan
Etika Utilitarianisme adalah sistem etika yang menekankan akibat suatu perbuatan untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu benar atau salah. Tokoh yang mempelopori Utilitarianisme ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dari Inggris. Dimana dia mengatakan bahwa segala tindakan diukur dari akibatnya dan harus disesuaikan dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.



[1] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 122
[2] K. Bertens, Pengantar Etika Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 66
[3] Mochtar Efendy, Ensiklopedia Agama dan Beberapa Filsafat, (Bandung: PT. Yudyodana, ), 361
[4] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 327
[5] Franz Magnis Suseno, Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: KANISIUS, 1998), 173
[6] W. Doespopradjo, Filsafat Moral (Kesusilaan dalam Teori dan Praktek), (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), 61-62
[7] A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: KANISIUS, 1998), 93-94
[8] Hendry J. Schmandt,  Filsafat Politik Kajian Historis Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Modern, (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2005), 235

[9] K. Bertens, Etika Dasar, 253
[10] Kaleb Manurung, Rekaman catatan perkuliahan IIA, (Medan, STT-ABDI SABDA, 10 Maret 2011)
[11]K. Bertens, Etika Dasar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 246-247                 
[12] K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanasius, 2000), 246-253
[13] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 247
[14] A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanasius, 1998), 96-97
[15] Kaleb Manurung, Rekaman catatan perkuliahan IIA, 10 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar