KRITIK TERHADAP ETIKA
UTILITARIANISME
I.
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya.
Dan tidak pernah lepas dari segala perbuatan yang tidak bermoral, untuk itu
etika akan memandang dan menilai perbuatan yang dilakukan manusia tersebut.
Etika yang didefenisikan secara sederhana adalah kebiasaan dan istilah
katanya berasal dari kata “ethos”
atau “ethikos” berarti kesusilaan,
perasaan batin atau kecenderungan hati dengan mana seseorang yang melakukan
sesuatu perbuatan atau tindakan. Etika merupakan penentuan perbuatan manusia
yang baik maupun yang buruk dan menjadi sebuah pedoman hidup manusia. Dalam
sajian kali ini kita akan membahas kritik terhadap Etika Utilitarianisme.
Semoga sajian kami kali ini menambah pengetahuan kita.
II.
Pembahasan
2.1
Pengertian
Utilitarianisme
Secara
etimologi Utilitarianisme berasal dari bahasa Latin yaitu “Utilis” yang berarti berguna.[1]
Artinya bahwa sesuatu perbuatan adalah baik jika membawa yang bermanfaat/ berguna
bukan hanya untuk orang tertentu atau bukan hanya untuk satu orang saja melainkan
masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rumusnnya,
Utilitarianisme adalah kriteria untuk menentukan baik buruknya
suatu perbuatan di lihat dari “the
greatest happines of the greatest number” (kebahagiaan terbesar
dari jumalah orang terbesar).[2]
Arti lain juga bahwa Utilitarianisme berasal dari bahasa latin yang berarti
berfaedah,[3]
dan di dalam Kamus umum bahasa indonesia faedah adalah guna, manfaat atau
sesuatu yang menguntungkan.[4]
Jadi Utilitarianisme adalah sistem etika yang menekankan akibat suatu perbuatan
untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu benar atau salah tanpa memperdulikan motivasi dan kemauan dalam
melakukan perbuatan tersebut.
2.2
Latarbelakang
Utilitarianisme
Tokoh
yang mengutarakan Utilitarianisme adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dari
Inggris. Bentham
merumuskan suatu
semboyan yang terkenal yaitu “Utilitarianisme
sebagai the greatest happines of the greatest number”.[5]
Secara sederhana ia melihat persoalan bagaimana nilai baik buruknya suatu
kebijaksanaan sosial, politik, ekonomi, secara moral bergantung kepada
kebahagiaan dan kemakmuran masrayakat yang ditentukan oleh kegunaannya dalam
memajukan kesejahteraan bersama dan juga orang lain.[6]
Dan dalam perkembangannya paham Utilitarianisme dikaitkan kedalam Etika yang
disebut Etika Utilitarianisme. Karena paham ini menganut perbuatan yang
menyangkut segala bidang hidup baik secara pribadi, sosial etis, moral dan
religius. Maka Etika Utilitarianisme adalah suatu sistem Etika yang menekankan
bahwa untuk menentukan
suatu perbuatan benar atau salah adalah akibat dari perbuatan itu.[7]
2.2.1
Tokoh-Tokoh Utilitarianisme
1. Jeremy
Bentham
Jeremy Bentham, yang terkenal
sebagai salah seorang tokoh positivisme hukum, dilahirkan di London pada 15
Februari 1748. Ia merupakan keturunan praktisi hukum, ayah dan kakeknya merupakan jaksa. Pemikiran rasional
ala abad pencerahan yang diwariskan ayahnya sangat mempengaruhi. Berbeda dengan
apa yang ditulis Hendry J. Schmandt dalam Buku Filsafat Politik Kajian Historis
dari Zaman Kuno Sampai Zaman Modern, bahwa ayah Bentham adalah seorang
pengacara (bukan jaksa) kaya yang ingin sekali melihat anaknya duduk di
Woolsack. Setelah lulus dari Oxford, Bentham mengambil studi hukum dan
diizinkan menjalani profesi tahun1769.[8]
Pemikiran hukum Bentham banyak
diilhami oleh karya David Hume (1711-1776). Hume merupakan seorang pemikir
dengan kemampuan analisis luar biasa, yang meruntuhkan dasar teoritis dari
hukum alam. Hume pernah mengajarkan bahwa “sesuatu yang berguna akan memberikan
kebahagiaan,” dan “mengapa demikian”, secara eksplisit dikemukan sendiri oleh
Hume, dia menjawab : “sepertinya adalah sesuatu yang nyata bahwa keadaan yang
memberi kegunaan, dalam semua subjek, merupakan sumber dari pujian dan sambutan
baik; bahwa ini selalu diserukan dalam semua keputusan moral tentang kebaikan
dan kelemahan suatu tindakan: bahwa ini merupakan sumber tunggal penghargaan
tinggi yang diberikan kepada keadilan, ketaatan, penghormatan, kesetiaan, dan
kesucian: bahwa ini tidak bisa dipisahkan dari semua kebajikan sosial yang
lain, kemanusiaan, kemurahhatian, kedermawanan, kesantunan, toleran, dan sikap
tidak berlebihan; dan boleh dikatakan bahwa ini merupakan landasan moral, yang
mengacu kepada umat manusia dan kepada sesama makhluk”.
2. John Stuart
Mill
Lahir
di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 – meninggal di Avignon, Perancis,
8 Mei 1873 pada umur 66 tahun. Dia adalah seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal
sebagai reformator dari utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah
seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti
filsafat Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan
bahasa Latin. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari
bahasa, kimia, dan matematika.
John
Stuart Mill merupakan salah satu tokoh Utilitarianisme yang terkenal dalam
menelurkan konsep kebebasan, yang dituangkan secara komprehensif di dalam
bukunya On Liberty. Mill seorang utilitarian yang mencoba untuk memahami
kebahagiaan secara lain, dimana menurutnya kebahagiaan, bukanlah semata
bersifat fisik, melainkan lebih luas dari itu, dan Mill pun memperkenalkan
sebuah konsep kebahagiaan individu, yang sebelumnya, para filsuf utilitarian
kurang menyentuh hal tersebut. Menurut Mill tentunya berbeda terkait
kebahagiaan individu dengan kebahagiaan umum. Suara hati menjadi dasar
moralitas kaum utilitarian, sehingga akan menimbulkan implikasi didalam
kehidupan sehari-hari terkait hubungannya dengan orang lain, dan disanalah
eksistensi sebagai makhluk sosial menjadi nyata.
John Stuart Mill (1806-1873) dalam bukunya “Utilitarianism” mengembangkan yaitu :
1.
Kesenangan dan kebahagiaan
bukan di ukur secara kuantitatif, ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu
dipertimbangkan juga karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada
yang lebih rendah.
2.
Kebahagiaan yang
menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlihat dalam suatu
kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai
pelaku utama.[9]
2.3
Unsur-unsur
Utilitarianisme
Dalam
Utilitarianisme ditemui empat unsur yang menjadi tolak ukur yang menghasilkan
faedah:
a. Suatu
tindakan diukur dari akibatnya.
b. Akibat
yang mana disebut baik, Utulitarianisme memberi jawaban yaitu, akibat yang
berguna itu untuk menunjang apa yang bernilai bagi diri sendiri atau apa yang
baik bagi diri sendiri.
c. Apa
yang baik bagi diri sendiri Utilitarianisme memberi jawaban yang membahagiakan,
kesenangan, kenikmatan. Apa yang diberi kesenangan yang nikmat (pleasure) dan bebas dari pain
karena itulah yang diinginkan setiap
orang.
2.4
Aliran-Aliran
Utilitarianisme
Aliran Utiliatarisme terbagi atas dua bagian yaitu :
a.
Aliran Utilitarianisme Klasik (Perbuatan)
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di United Kingdom dan
aliran ini berpengaruh kseluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Tujuan dari
paham ini sebagai dasar etis untuk membaharui hukum inggris, khususnya hukum
pidana. Jeremy Bentham ingin meniptakan suatu teori abstrak tetapi mempunyai
maksud sangat konkrit. Ia berpendapat tujuan hukum adalah “memajukn kepentingan
para warga Negara dan bukan memaksakan perintah-perintah illahi atau melindungi
yang disebut dengan hak-hak kodrati”.[11]
Untuk itu aliran ini menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya
ditempatkan di bawah pemerintahan yang berdaulat yaitu ketidaksenangan dan
kesenangan, kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari
kesusahan. Aliran ini menekankan prinsip kegunaan yang harus diterapkan secara
kuantitatif belaka, karena kualitas kesenangan harus sama dan merupakan
satu-satunya aspek yang bisa berbeda adalah kuantitasnya.
b.
Aliran Utilitarianisme Aturan
Aliran ini menerapkan suatu prinsip bahwa utilitarianisme ini tidak
menerapkan kepada perbuatan-perbuatan yang kita lakukan atau kritikan terhadap
utilitarianisme. Hal ini dikemukakan oleh filsuf Inggris-Amerika, yaitu Stephen
Toulmin beserta kawan-kawannya menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus
diterapkan atas suatu perbutan melinkan atas aturan-aturan moral yang mengatur
perbuatan-perbuatan kita. Dengan demikian perbuatan baik di lihat secara moral bila
disesuaikan dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling
berguna bagi suatu masyarakat.[12]
2.5
Kekuatan
dan Kelemahan Etika Utiliarianisme
1. Kekuatan
Etika Utilitarianisme
a.
Rasionalitasnya,
maksudnya utilitarianisme memberi kita kriteria yang pasti dan rasional mengapa
suatu tindakan itu di anggap baik. Ada dasar yang rasional mengapa kita
mengambil dan memilih kebijakan atau tindakan tertentu bukan yang lain.
b.
Utilitarianisme,
yaitu setiap orang di beri kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak,
tidak ada pemaksaan dari pihak manapun.
c.
Universal,
maksudnya mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak
orang. suatu tindakan di nilai secara moral bukan karena tindakan itu
mendatangkan manfaat besar bagi orang yang melakukan tindakan itu, melainkan
karena tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar bagi semua orang yang
terkait.[13]
2. Kelemahan
Etika Utilitarianisme
Prinsip Utilitarianisme mengajarkan tangungjawab atas prilaku dan
perbuatan manusia dan juga sebagai prinsip moral. Karena itu Utilitarianisme ini
memiliki kelemahan, yaitu :
a.
Manfaat
merupakan seuah konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis
menimbulkan kesulitan untuk mencapainya, karena manfaat bagi satu manusia
dengan manusia lainnya berbeda.
b.
Etika
Utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada
dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan
dengan akibatnya.
c.
Tidak pernah
menganggap serius kemauan dan motivasi baik seseorang.
d.
Untuk
membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan, demi kepentingan
mayoritas artinya walaupun tindakan merugikan bahkan melanggar hak dan
kepentingan kelompok kecil tertentu, tetapi menguntungkan sebagian besar orang
yang terkait, tindakan itu tetap di nilai baik dan etis.[14]
2.6 Kritik
Terhadap Sistem Etika Utilitarianisme
Kritik Etika Kristen kepada Etika Utilitarianisme yaitu:
a.
Keinginan untuk
mendapatkan kebahagiaan adalah tidak salah, Allah juga mengkehendaki agar kita
bahagia dan mengalami kenikmatan hidup dan juga dapat dikatakan tujuan dari
segala perbuatan yang berguna, berfaedah bagi kita dan untuk orang lain.
Prinsip utilitarianisme yang menekankan kebahagiaan bagi sipelaku dan orang
lain adalah positif (Flp. 2:4). Namun kenikmatan, kebahagiaan tidak dapat
dijadikan standart untuk menentukan perbuatan itu benar atau salah, karena
kebahagiaan itu memerlukan standart.
b.
Bagaimana kita
dapat mencari bahagia, nikmat dan faedah bagi banyak orang dan untuk diri
sendiri sedangkan yang nikmat bagi kita belum tentu nikmat bagi orang lain.
c.
Kewajiban moral
bukan hanya mengenai kesejahteraan orang banyak, melainkan juga sikap yang
adil. Prinsip untuk mengatakan kebahagiaan untuk banyak orang justru
menimbulkan bertindak tidak adil dan dapat jatuh pada sikap menghalalkan semua
cara untuk satu tujuan.
d.
Tujuan yang baik
seharusnya dicapai dengan cara yang baik dan atas dasar yang baik. Mencapai
tujuan yang baik tidak harus melanggar norma, sementara utilitarianisme tidak
mempunyai dasar dan norma yang jelas untuk bertindak.[15]
2.7 Pandangan
Kristen Terhadap Etika Utilitarianisme
Utilitarianisme
adalah perbuatan yang menekankan suatu tujuan yang nikmat, bahagia ataupun
berguna. Artinya teori ini melihat dan mengutamakan akibat dari perbuatan itu tanpa
peduli motivasi dan kemauan dalam bertindak. Sedangkan Etika Kristen adalah
suatu bidang ilmu teologi yang memberikan apa yang benar dan apa yang salah,
dan ukuran evaluasi untuk menentukan tindakan yang benar atau salah. Maka
pandangan Kristen terhadap Etika utilitarianisme yaitu perbuatan yang dilakukan
harus dapat dipertanggungjawabkan untuk setiap kelakuannya di dunia terhadap
ciptaan, sesama dan hubungannya dengan Allah. Jadi, Etika Kristen sangat
berbeda dan menentang itu, karena titik tolak perbuatannya harus dari perintah
Allah.
III.
Kesimpulan
Etika Utilitarianisme adalah sistem etika
yang menekankan akibat suatu perbuatan untuk menentukan apakah suatu perbuatan
itu benar atau salah.
Tokoh
yang mempelopori Utilitarianisme ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dari
Inggris. Dimana dia mengatakan bahwa segala tindakan diukur
dari akibatnya dan harus disesuaikan dengan aturan yang berfungsi dalam sistem
aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.
[1] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius,
1997), 122
[3] Mochtar Efendy, Ensiklopedia Agama dan Beberapa Filsafat,
(Bandung: PT. Yudyodana, ), 361
[4] W. J. S. Poerwadarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 327
[5] Franz Magnis Suseno, Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta:
KANISIUS, 1998), 173
[6] W. Doespopradjo, Filsafat Moral (Kesusilaan dalam Teori dan
Praktek), (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), 61-62
[7] A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya,
(Yogyakarta: KANISIUS, 1998), 93-94
[8] Hendry J. Schmandt, Filsafat Politik Kajian Historis
Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 235
[13] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 247
Tidak ada komentar:
Posting Komentar