Senin, 14 Oktober 2013

Pengantar Filsafat


Metafisika Khusus
I.                   Pendahuluan
Pada sajian kita sebelumnya kita sudah belajar banyak tentang metafisika umum, yang dimana metafisika umum itu adalah sama denga ontologi yang bertanya tentang “ada”. Dan pada sajian kali ini kita akan bejajar juga tentang metefisika khusus, dan metafisika khusus ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu, kosmologi (dunia), teologi metafisik, dan antropologi. Semoga sajian pada kali ini dapat membantu dan memberikan pengetahuan kepada kita.
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian Metafisika[1]
Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani μετα τα ϕυσικα (sesudah fisika). Istilah ini merupkana judul yang diberikan oleh Andronikos dari Rhodesterhadap 14 buku yang ditulis oleh Aristoteles, yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari 8 buku. Aristoteles sendiri tidzk menggunakan istiliah metafisika dan fisika melainkan filsafat pertama untuk metafisika dan filsafat kedua untuk fisika. Secara umum dapat dikatakan bahwa metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Metafisika khusus terdiri dari:
·         Kosmologi
·         Teologi metafisik
·         Filsafat Antropologi
2.2.Kosmologi
Secara Etimologis, istilah kosmologi berasal dari dua kata Yunani: κοσμος dan λογος. Kosmos berarti dunia atau ketertiban yang merupakan lawan dari chaos (kacau balau atau tidak tertib). Logos barati kata, percakapan atau ilmu, jadi, kosmologi berarti percakapan tentang dunia atau alam dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas.
Kosmologi memandang alam sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah didalam suatu kerangka yang koheren.[2] Bersama dengan spesialisasi ilmu alam yang sangat maju, dirasa keperluan akan suatu refleksi yang lebih mendalam yang memperhatikan keseluruhan. Refleksi ini merupakan bidang kosmologi. Kosmologi merupakan rangka umum dimana hasil-hasil ilmu alam dapat dipasang. Kosmologi sekarang memandang alam sebagai suatu proses. Kosmos itu bukan sistem tetap dan tidak terhingga melainkan suatu proses perkembangan.[3]
Dalam kosmologi ada beberapa objek yang perlu dilihat yaitu:
·         Objek formal
Filsafat pada umumnya menyelidiki stuktur-stuktur yang paling mendasar. Demikian juga dalam kosmologi dicari makna dunia yang mendasari semua arti dunia lainnya, dan yang selalu diandaikannya secara implisit. Arti dasar itu meliputi dua segi yaitu;
Ø  Dunia menurut eksistensinya mengandung segala macam dunia dengan segala bagian dan aspeknya, sehingga tida ada apa-apa yang dikecualikan darinya. Semua dunia lainnya adalah lebih terbatas, dan dirangkum dalam dunia yang tuntas itu.
Ø  Dunia itu menurut komprehensinya (kepadatan atau arti) memuat inti sari segala dunia lain, sehingga tidak hanya menunjukkan aspek ini atau segi pandangan itu, melainkan mengungkapkan hakikat sendiri yang membuat dunia itu menjadi dunia. Semua dunia lainnya lebih sempit dari itu dan menjadi pengkhususan arti mendasar itu.
Dari uraian itu, maka menurut filosofis yang bersegi dua itu dunia diselidiki sejauh merupakan dunia, menurut inti dan hakikatnya yang mutlak atau menurut akarnya. Dunia diteliti sejauh mendunia atau mengkosmos, dipelajari menurut keduniawian atau kekosmosannya. Dan sebaliknya macam-macam dunia yang ditemukan dalam ilmu-ilmu atau yang dialami dalam hidup sehari-hari dalam rangka kosmologi ditempatkan kembali lingkup mendasar yang paling mendalam.[4]
·         Objek material
Filsafat alam dunia kerap dianggap hanya membicarakan barang benda material yang mati (dunia fisiokimis). Atau dengan lebih luas, juga memikirkan mahkluk-makhluk hidup, tetapi yang menurut tubuhnya (dunia biotik), termaksud manusia. Namun pembatasan ini banyak menimbulkan pertanyaan dan keberatan, karena yang dimaksudkan dengan dunia dalam dalam penyelidikan kosmologi adalah dunia sejauh kita alami seutuhnya. Jadi tidak hanya dipermasalahkan barang benda mati, ataupun mahkluk-mahkluk lain menurut tubuhnya yang biotik saja, melainkan keutuhan dunia, dan didalam manusia pun didapati pokok keduniawian itu. Maka dunia itu tidak dengan apriori dapat dibatasi pada dunia biotik saja, dan manusia tidak boleh dikesampingkan begitu saja dari kosmologi. Justru sebaliknya kiranya dalam manusia itu unsur keduniawian bercorak sangat intensif, jadi perlu sekali manuia diikutsertakan dalam objek pentelidikan kosmologi.[5] Selain kosmologi mempunyai objek, kosmologi juga mempunyai beberapa metode-metode yang saling melengkapi yaitu:[6]
a.       Metode kritis
Metode kritis membicarakan bermacam-macam ragam teologi filosofi. Diselidiki konsistensi intrisik pada teori-teori itu dan kesesuaiannya dengan teori-teori ilmu-ilmu khusus dan dengan pengalaman hidup sehari-hari sambil mempergunakan tehnik-tehnik kritis. Kamudian disisihkan unsur-unsur yang tidak dapat depertahankan dan dibentuk pandangan yang tahan uji. Metode ini bersifat negatif, sebab maju dengan menyisihkan visi-visi filosofis lain yang gagal, tanpa memberikan pemahaman dan kepastian positif.
b.      Metode analitis
Metode analitika bahasa berefleksi tentang bahasa sehari-hari . dianalisis jalannya bahasa dan khususnya pemakaian bahasa pada belbagai bidang dan situasi dengan jalan ini mau dibersihkan dari bahasa yang menyebabkan kekaburan dan semua ungkapan yang tidak berguna.
c.       Metode fenomenologis
Metode fenomenologis lansung merefleksikan gejala-gejala hidup sehari-hari sejauh disadari oleh subjek. Didalam fenomena-fenomena yang terbatas dan bercacat diusahakan membaca kembali pengalaman asali dan fundamental yang tersembunyi didalamnya.
d.      Metode transendental
Metode transendental bertolak dari fenomena manusiawi yang paling sentral, yaitu dari fakta kegiatannya (berbicara, berpikir dan memilih). Tidak dianalitis arti dan nilai yang diungkapkan sebagai isi eksplisit dalam kegiatan itu melainkan dicari pengandaian-pengandaian implisit atau syarat-syarat mutlak yang memungkinkan pelaksanaan fakta kegiatan tersebut.
2.3.Tokoh-tokoh kosmologi
2.3.1.      Thales
Ia adalah orang pertama yang secara filosifis menggunakan kata Phisys atau alam. Kata ini baginya menunjuk pada proses misterius yang melaluinya segala sesuatu mendapatkan kekuatan dari ilahi yang diserap kedalam substansi basis. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa asaal mula segala sesuatu adalah yang tidak terbatas yang diidentifikasi dengan keilahian. Baginya makhuk-makhluk spesifik merupakan hasil gerakan pusaran yang mengkonsentrasikan keadaan yang tiada terbatas.[7]
2.3.2.      Plato
Ia memahami alam sebagai sesuatu yang terbentuknya mirip dengan cara ketika seorang tukang kayu memberi bentuk meja yang dibuatnya. Seperti halnya seorang tukang kayu membayangkan suatu bentuk tertentu yang akan diberikan nya kepada meja yang akan dibuatnya.
2.3.3.      Aristoteles
Ia memahami bahwa istilah alam menunjuk kepada prinsip pertumbuhan, pengaturan, dan gerakan yang terdapat dalam segala hal. Dengan demikian, berarti  jika suatu hal hendak dikatakan, bersifat alami harus memiliki prinsip ssemacam itu. Maka dapat ddisimpulkan bahwa alam merupakan semacam makhluk hidup yang bercirikan gerakan dan merupakan suatu yang keadaannya senantiasa terjadi perubahan-perubahan dengan suatu cara tertentu.[8]
2.4.Teologi Metafisik
Teologi metafisik juga disebut “theodise”. Nama ini kurang cocok, karena teodise memang hanya bagian kecil dari teologi metafisik. Teodise(dari kata yunani “theos”, Allah dan “dike”, pembenaran, pengadilan) mencoba menerangkan bahwa kepercayaan kepada Allah tidak bertentangan dengan kenyataan kejahatan. Kenyataan kejahatan merupakan sebab terpenting bahwa banyak orang tidak dapat percaya akan Allah , atau bahwa mereka tidak dapat percaya bahwa Allah Mahabaik dan Mahakuasa. Peranan teodise dalam teologi metafisik dahulu begitu penting sehingga sering seluruh cabang filsafat ini disebut teodise.[9] 
Teologi metafisik mempersoalkan eksistensi Allah yang dibahas secara terlepas dari kepercayaan agama. Eksistensi Allah hendak dipahami secara rasional. Konsekuensinya, Allah menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah. Apabila Allah dilepaskan dari kepercayaan agama, hasil analisis dan pembahasan yang deperoleh bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan berikut:
·         Allah tidak ada
·         Tidak dapat dipastikan apakah Allah ada atau tidak
·         Allah ada tanpa dapat dibuktikan secara rasional
·         Allah ada, dengan bukti rasional.[10]
Ada beberapa bukti rasional yang terdapat dalam teologi metafisik ini yaitu:[11]
  1. Argumen ontologis, semua manusia memilikii ide tentang Allah. Sementara itu, diketahui pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna daripada ide. Dengan demikian Tuhan pasti ada dan realitas adanya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
  2. Argumen kosmologi, setiap akibat pasti punya sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat. Karena itu, dunia pasti memiliki sebab di luar dirinya sendiri. Penyebab adanya dunia itu adalah Tuhan.
  3. Argumen teleologis, segala sesuatu ada tujuannya. Sebagai contoh mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu memiliki tujuan, itu berarti seluruh realitas tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dijadikan oleh yang mengatur tujuan itu. Pengatur tujuan itu adalah Tuhan.
  4. Argumen moral, manusia bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber moralitas. Dasar dan sumber moralitas itu adalah Allah.
2.5.Tokoh-tokoh teologi metafisik[12]
2.5.1.      Panteistis Benedictus (1632-1677)
Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada adalah Allah dan tidak ada sesuatu apa pun yang tidak tercakup di dalam Allah. Ia juga menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu apa pun yang dapat berada tanpa Allah.
2.5.2.      David Hume (1711-1776)
Ia menegaskan bahwa tidak ada bukti yang benar-banar sahih yang dapat membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia ini. Ia juha menolak eksistensi Allah dan kebenaran agama bahkan ia menolak gagasan tentang Allah, serta menganggap bahwa maoralitas semata-mata hanyalah perasaan manusia belaka.


2.5.3.      Ludwig Feuerbach (1804-1872)
Ia mengatakan bahwa religi tercipta oleh hakikat manusia itu sendiri, yaitu egoismenya dan hasratnya akan kebahagiaan. Oleh karena itu, Allah adalah gambaran dari keinginan manusia, yang dianggap dan diyakini sungguh-sungguh ada. Ia menunjukkan bahwa Allah tidak lain daripada apa yang dinginkan manusia.
2.5.4.      Friedrich Nietzche (1844-1900)
Ia mengatakan bahwa konsep tentang Alah dalam agama Kristen adalah konsep yang paling buruk dan rusak dari seluruh konsep tentang Allah, kerena Allah dianggap sebagai Allah dari orang-orang yang lemah. Allah dari orang-orang lemah adalah Allah yang lemah pula.
2.5.5.      Sigmund Freud (1856-1939)
Ia mengatakan bahwa Allah itu memiliki tiga fungsi utama bagi kehidupan praktis manusia di dunia ini:
·         Allah dianggap penguasa alam. Oleh karena itu, dengan menyembahNya manusia akan dapat mengatasi kecemasannya terhadap alam yang begitu dasyat.
·         Keyakinan agamis memperdamaikan manusia dengan nasibnya yang mengerikan, terutama kematian.
·         Allah memelihara dan menjaga agar ketentuan-ketentuan dan pereturan-peraturan kultur akan dilaksanakan.
Kemudian ia menyimpulkan bahwa religi adalah suatu ilusi yang berasal dari semacam infantilisme atau sifat kekanak-kanakan. Dengan demikian bagi freud Allah hanyalah ilusi.
2.6.Filsafat Antrpologi
Cabang filsafat yang berbicara tentang manusia disebut “Antropologi”. Yang berasa dari kata Yunani “anthropos” yang berarti manusia.[13] Filsafat antropologi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan apakah manuisa itu? Apakah hakikat manusia? Bagaimanakah hubungannya dengan alam dan sesamanya? Dengan kata lain, filsafat antropologi berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagaimana adanya, baik menyangkut esensi, eksisstensi, status maupun relasi-relasinya.[14] Dalam filsafat manusia ini ada dua aspek hakikat manusia sebagai objek filsafat yaitu:
  1. Manusia mau dipahami seekstensif atau seluas mungkin. Bukan berupa sifat atau gejala saja, seperti misalnya berjalan, bekerja, malu, rasa takut, cintakasih. Pemahaman manusia harus meliputi dan melingkupi semua sifat, semua kegiatan, semua pengertian pokoknya aspeknya pada segala bidang semuanya perlu dipandang sebagai sattu keseluruhan.
  2. Manusia dipahami seintensif atau sepadat mungkin. Tidak cukup diselidiki fungsi atau kegiatan manusia pada tarraf tertentu saja, yaitu sajauh ia serupa dengan hal atau makhluk bukan manusiawi lain; misalnya pada taraf biokimia, biologis saja. Penyelidikan demikian hanya bersifat regional. Seluruh manusia harus dipandang sekadar manusia, dan segala unsurnya ditinjau sekedar manusiawi. Semua aspeknya perlu dilihat di dalam keseluruhan manusia, sejauh berhubungan dengan inti sari manusia, dan sekadar diresapi dengan keberadaan manusia itu.[15]
Ada 4 metode filsafat manusia yakni:[16]
1.      Metode Kritis (Negatif)
Metode kritis bertitik tolak dari pendapat filsuf-filsuf lain, atau juga dari teori-teori ilmu-ilmu lain, atau dari keyakinan-keyakinan sehari-hari yang agak sentral.diselidiki konsistensinya teori-teori atau keyakinan- keyakinan itu, yaitu apakah unsur-unsurnya dapat disesuaikan satu sama lain atau tidak.
2.      Metode Analitika Bahasa
Metode analitika bahasa bertitik tolak dari bahasa sehari-hari, menyelidiki hubungan antara bahasa dan pikiran, dan guna bahasa bagi ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebagai metode analitika bahasa terutama meneliti bermacam-macam permainan bahasa yang de facto dipergunakan orang di pelbagai bidang.
3.      Metode Fenomenologis
Metode fenomenologis ini dirintis oleh Husserl dengan semboyan “zeruck zu den sachen selbst”, artinya kembali kepada hal-hal sendiri, atau kepada apa adanya, tanpa mulai dengan salah satu interpretasi apriori. Perincian metode ini baelain-lainan dan tergantung pada filsuf yang mempergunakannya. Metode fenomenologis berusaha menemukan kembali pengalaman asli dan fundamental itu melalui beberapa langkah atau penjabaran tertentu:
Ø  Gejala atau fenomen hanya diselidiki sajauh disadari secara langsung dan spontan sebagai yang lain dari kesadaran sendiri.
Ø  Apalagi fenomen itu hanya diselidiki sejauh merupakan bagian dunia yang dihidupi sebagai keseluruhan dan bukan menjadi objek bidang ilmiah yang terbatas.  
4.      Metode Transendental
Metode ini bertitik tolak dari fakta kegiatan berbicara dan berpikir di dalam manusia. Didalam setiap pernyataan termuat pengandaian-pengandaian yang ikut menentukannya secara operatif dan walaupun hanya hadir secara implisit saja, pengandaian-pengandaian itu ikut di-ia-kan di dalam setiap pengungkapan
2.7.Tokoh-tokoh antropologi[17]
2.7.1.      Demokritos (460-370 SM)
Ia mengajarkan bahwa manusia adalah materi. Jiwa pun adalah materi yang terdiri dari atom-atom khusus yang bundar, halus, dan licin oleh sebab itu tidak saling mengait satu sama lain. Demikian juga atom-atom yang berbentuk lain. Dengan demikian atom-atom jiwa gampang menempatkan diri di antara atom-atom lainnya dan menyebar keseluruh tubuh manusia.


2.7.2.      Plato (428-348 SM)
Ia mengajarkan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh adalah musuh jiwa. Karena tubuh penuh dengan berbagai kejahatan dan jiwa berada dii dalam tubuh yang demikian itu, maka tubuh merupakan penhara jiwa. Jiwa terdiri dari tiga bagian yaitu, akal, semangat, dan nafsu. Karena pengaruh nafsu, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh.
2.7.3.      Aristoteles (384-322 SM)
Ia mengatakan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tubuh dan jiwa hanya merupakan dua segi dari manusia yang satu. Tubuh adalah meteri, dan jiwa adalah bentuk. Manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan , maka konsekuensinya ialah pada saat manusia mati, baik tubuh maupun jiwa, kedua-duanya mati. Itu berarti jiwa manusia tidak abadi. 
2.7.4.      Descartes (1596-1650 SM)
Ia menegaskan bahwa tubuh dan jiwa dua hal yang sangat berbeda dan harus dipisahkan. Tubuh adalah suatu mesin yang terdiri dari bagian-bagiannya yang begitu kompleks. Adapun jiwa adalah suatu yang tidak terbagi, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, ditandai oleh kegiatan rohani, seperti berpikir, berkehendak, dan sebagainya.
2.7.5.      George Berkeley (1685-1753 SM)
Ia berpendapat bahwa jiwa manusia adalah pusat segala realitas yang tampak. Penolakannya terhadap materi menunjukkan bahwa ia adalah seorang spiritualis. Akan tetapi, idealisme subjektif spiritualitas Berkeley tidak berpangkal pada yang abstrak, melainkan pada yang kongkret, yang diperoleh  lewat pengamatan inderawi.



[1] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: KANISIUS, 1996), 44
[2] Ibid, 46-47
[3] Hrry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: KANISIUS, 1981), 23
[4] Anton Bakker, Kosmologi dan Ekologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 27-28
[5] Ibid, 28
[6] Ibid, 38-39
[7] Thomas Hidya Tjaya, Kosmos Tanda Keagungan Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 56
[8] Louis O. Katstsof, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: TWY, 1992), 266-268
[9] Harry Hamersma, Pintu Masuk KeDunia Fiilsafat, 21
[10] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 47
[11] Ibid, 47-48
[12] Ibid, 48-49
[13] Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, 21
[14] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 50
[15] Anton Bakker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 12
[16] Ibid, 14-16
[17] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 50-51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar