Metafisika Khusus
I.
Pendahuluan
Pada
sajian kita sebelumnya kita sudah belajar banyak tentang metafisika umum, yang
dimana metafisika umum itu adalah sama denga ontologi yang bertanya tentang
“ada”. Dan pada sajian kali ini kita akan bejajar juga tentang metefisika
khusus, dan metafisika khusus ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu, kosmologi
(dunia), teologi metafisik, dan antropologi. Semoga sajian pada kali ini dapat
membantu dan memberikan pengetahuan kepada kita.
II.
Pembahasan
Istilah
metafisika berasal dari bahasa Yunani
μετα τα ϕυσικα (sesudah fisika).
Istilah ini merupkana judul yang diberikan oleh Andronikos dari Rhodesterhadap
14 buku yang ditulis oleh Aristoteles, yang ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari 8 buku.
Aristoteles sendiri tidzk menggunakan istiliah metafisika dan fisika
melainkan filsafat pertama untuk metafisika
dan filsafat kedua untuk fisika.
Secara umum dapat dikatakan bahwa metafisika adalah suatu pembahasan filsafati
yang komprehensif mengenai seluruh realitas
atau tentang segala sesuatu yang ada.
Metafisika
khusus terdiri dari:
·
Kosmologi
·
Teologi metafisik
·
Filsafat Antropologi
2.2.Kosmologi
Secara
Etimologis, istilah kosmologi berasal
dari dua kata Yunani: κοσμος dan λογος. Kosmos berarti dunia atau
ketertiban yang merupakan lawan dari chaos (kacau balau atau tidak tertib). Logos barati kata, percakapan atau ilmu, jadi, kosmologi berarti percakapan
tentang dunia atau alam dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh
realitas.
Kosmologi
memandang alam sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk
memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah didalam suatu kerangka
yang koheren.[2]
Bersama dengan spesialisasi ilmu alam yang sangat maju, dirasa keperluan akan
suatu refleksi yang lebih mendalam yang memperhatikan keseluruhan. Refleksi ini
merupakan bidang kosmologi. Kosmologi merupakan rangka umum dimana hasil-hasil
ilmu alam dapat dipasang. Kosmologi sekarang memandang alam sebagai suatu
proses. Kosmos itu bukan sistem tetap dan tidak terhingga melainkan suatu
proses perkembangan.[3]
Dalam
kosmologi ada beberapa objek yang perlu dilihat yaitu:
·
Objek formal
Filsafat
pada umumnya menyelidiki stuktur-stuktur yang paling mendasar. Demikian juga
dalam kosmologi dicari makna dunia yang mendasari semua arti dunia lainnya, dan
yang selalu diandaikannya secara implisit. Arti dasar itu meliputi dua segi
yaitu;
Ø Dunia menurut eksistensinya mengandung segala macam
dunia dengan segala bagian dan aspeknya, sehingga tida ada apa-apa yang
dikecualikan darinya. Semua dunia lainnya adalah lebih terbatas, dan dirangkum
dalam dunia yang tuntas itu.
Ø Dunia itu menurut komprehensinya (kepadatan atau arti)
memuat inti sari segala dunia lain, sehingga tidak hanya menunjukkan aspek ini
atau segi pandangan itu, melainkan mengungkapkan hakikat sendiri yang membuat
dunia itu menjadi dunia. Semua dunia lainnya lebih sempit dari itu dan menjadi
pengkhususan arti mendasar itu.
Dari
uraian itu, maka menurut filosofis yang bersegi dua itu dunia diselidiki sejauh
merupakan dunia, menurut inti dan hakikatnya yang mutlak atau menurut akarnya.
Dunia diteliti sejauh mendunia atau mengkosmos, dipelajari menurut keduniawian
atau kekosmosannya. Dan sebaliknya macam-macam dunia yang ditemukan dalam
ilmu-ilmu atau yang dialami dalam hidup sehari-hari dalam rangka kosmologi
ditempatkan kembali lingkup mendasar yang paling mendalam.[4]
·
Objek material
Filsafat
alam dunia kerap dianggap hanya membicarakan barang benda material yang mati
(dunia fisiokimis). Atau dengan lebih luas, juga memikirkan mahkluk-makhluk
hidup, tetapi yang menurut tubuhnya (dunia biotik), termaksud manusia. Namun
pembatasan ini banyak menimbulkan pertanyaan dan keberatan, karena yang
dimaksudkan dengan dunia dalam dalam penyelidikan kosmologi adalah dunia sejauh
kita alami seutuhnya. Jadi tidak hanya dipermasalahkan barang benda mati,
ataupun mahkluk-mahkluk lain menurut tubuhnya yang biotik saja, melainkan
keutuhan dunia, dan didalam manusia pun didapati pokok keduniawian itu. Maka
dunia itu tidak dengan apriori dapat dibatasi pada dunia biotik saja, dan
manusia tidak boleh dikesampingkan begitu saja dari kosmologi. Justru sebaliknya
kiranya dalam manusia itu unsur keduniawian bercorak sangat intensif, jadi
perlu sekali manuia diikutsertakan dalam objek pentelidikan kosmologi.[5]
Selain kosmologi mempunyai objek, kosmologi juga mempunyai beberapa
metode-metode yang saling melengkapi yaitu:[6]
a.
Metode kritis
Metode
kritis membicarakan bermacam-macam ragam teologi filosofi. Diselidiki
konsistensi intrisik pada teori-teori itu dan kesesuaiannya dengan teori-teori
ilmu-ilmu khusus dan dengan pengalaman hidup sehari-hari sambil mempergunakan
tehnik-tehnik kritis. Kamudian disisihkan unsur-unsur yang tidak dapat
depertahankan dan dibentuk pandangan yang tahan uji. Metode ini bersifat
negatif, sebab maju dengan menyisihkan visi-visi filosofis lain yang gagal,
tanpa memberikan pemahaman dan kepastian positif.
b.
Metode analitis
Metode
analitika bahasa berefleksi tentang bahasa sehari-hari . dianalisis jalannya
bahasa dan khususnya pemakaian bahasa pada belbagai bidang dan situasi dengan
jalan ini mau dibersihkan dari bahasa yang menyebabkan kekaburan dan semua
ungkapan yang tidak berguna.
c.
Metode fenomenologis
Metode
fenomenologis lansung merefleksikan gejala-gejala hidup sehari-hari sejauh
disadari oleh subjek. Didalam fenomena-fenomena yang terbatas dan bercacat
diusahakan membaca kembali pengalaman asali dan fundamental yang tersembunyi
didalamnya.
d.
Metode transendental
Metode
transendental bertolak dari fenomena manusiawi yang paling sentral, yaitu dari
fakta kegiatannya (berbicara, berpikir dan memilih). Tidak dianalitis arti dan
nilai yang diungkapkan sebagai isi eksplisit dalam kegiatan itu melainkan
dicari pengandaian-pengandaian implisit atau syarat-syarat mutlak yang
memungkinkan pelaksanaan fakta kegiatan tersebut.
2.3.Tokoh-tokoh
kosmologi
2.3.1.
Thales
Ia
adalah orang pertama yang secara filosifis menggunakan kata Phisys atau alam.
Kata ini baginya menunjuk pada proses misterius yang melaluinya segala sesuatu
mendapatkan kekuatan dari ilahi yang diserap kedalam substansi basis. Oleh
karena itu ia berpendapat bahwa asaal mula segala sesuatu adalah yang tidak
terbatas yang diidentifikasi dengan keilahian. Baginya makhuk-makhluk spesifik
merupakan hasil gerakan pusaran yang mengkonsentrasikan keadaan yang tiada
terbatas.[7]
2.3.2.
Plato
Ia
memahami alam sebagai sesuatu yang terbentuknya mirip dengan cara ketika
seorang tukang kayu memberi bentuk meja yang dibuatnya. Seperti halnya seorang
tukang kayu membayangkan suatu bentuk tertentu yang akan diberikan nya kepada
meja yang akan dibuatnya.
2.3.3.
Aristoteles
Ia
memahami bahwa istilah alam menunjuk kepada prinsip pertumbuhan, pengaturan,
dan gerakan yang terdapat dalam segala hal. Dengan demikian, berarti jika suatu hal hendak dikatakan, bersifat
alami harus memiliki prinsip ssemacam itu. Maka dapat ddisimpulkan bahwa alam
merupakan semacam makhluk hidup yang bercirikan gerakan dan merupakan suatu
yang keadaannya senantiasa terjadi perubahan-perubahan dengan suatu cara
tertentu.[8]
2.4.Teologi
Metafisik
Teologi
metafisik juga disebut “theodise”. Nama ini kurang cocok, karena teodise memang
hanya bagian kecil dari teologi metafisik. Teodise(dari kata yunani “theos”,
Allah dan “dike”, pembenaran, pengadilan) mencoba menerangkan bahwa kepercayaan
kepada Allah tidak bertentangan dengan kenyataan kejahatan. Kenyataan kejahatan
merupakan sebab terpenting bahwa banyak orang tidak dapat percaya akan Allah ,
atau bahwa mereka tidak dapat percaya bahwa Allah Mahabaik dan Mahakuasa.
Peranan teodise dalam teologi metafisik dahulu begitu penting sehingga sering
seluruh cabang filsafat ini disebut teodise.[9]
Teologi
metafisik mempersoalkan eksistensi Allah yang dibahas secara terlepas dari
kepercayaan agama. Eksistensi Allah hendak dipahami secara rasional. Konsekuensinya, Allah
menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode
ilmiah. Apabila Allah dilepaskan dari kepercayaan agama, hasil analisis dan
pembahasan yang deperoleh bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan berikut:
·
Allah tidak ada
·
Tidak dapat dipastikan apakah Allah ada atau tidak
·
Allah ada tanpa dapat dibuktikan secara rasional
·
Allah ada, dengan bukti rasional.[10]
Ada beberapa bukti rasional
yang terdapat dalam teologi metafisik ini yaitu:[11]
- Argumen
ontologis, semua manusia memilikii ide tentang Allah. Sementara itu,
diketahui pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna
daripada ide. Dengan demikian Tuhan pasti ada dan realitas adanya itu
pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
- Argumen
kosmologi, setiap akibat pasti punya sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat.
Karena itu, dunia pasti memiliki sebab di luar dirinya sendiri. Penyebab
adanya dunia itu adalah Tuhan.
- Argumen teleologis,
segala sesuatu ada tujuannya. Sebagai contoh mata untuk melihat, telinga
untuk mendengar, dan kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu memiliki
tujuan, itu berarti seluruh realitas tidak terjadi dengan sendirinya,
melainkan dijadikan oleh yang mengatur tujuan itu. Pengatur tujuan itu
adalah Tuhan.
- Argumen
moral, manusia bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk,
yang benar dan yang salah, dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa ada dasar
dan sumber moralitas. Dasar dan sumber moralitas itu adalah Allah.
2.5.Tokoh-tokoh
teologi metafisik[12]
2.5.1.
Panteistis
Benedictus (1632-1677)
Ia
mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada adalah Allah dan tidak ada sesuatu apa
pun yang tidak tercakup di dalam Allah. Ia juga menegaskan bahwa sesungguhnya
tidak ada sesuatu apa pun yang dapat berada tanpa Allah.
2.5.2.
David Hume
(1711-1776)
Ia
menegaskan bahwa tidak ada bukti yang benar-banar sahih yang dapat membuktikan
bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia ini. Ia juha menolak
eksistensi Allah dan kebenaran agama bahkan ia menolak gagasan tentang Allah,
serta menganggap bahwa maoralitas semata-mata hanyalah perasaan manusia belaka.
2.5.3.
Ludwig Feuerbach
(1804-1872)
Ia
mengatakan bahwa religi tercipta oleh hakikat manusia itu sendiri, yaitu
egoismenya dan hasratnya akan kebahagiaan. Oleh karena itu, Allah adalah
gambaran dari keinginan manusia, yang dianggap dan diyakini sungguh-sungguh
ada. Ia menunjukkan bahwa Allah tidak lain daripada apa yang dinginkan manusia.
2.5.4.
Friedrich Nietzche
(1844-1900)
Ia
mengatakan bahwa konsep tentang Alah dalam agama Kristen adalah konsep yang
paling buruk dan rusak dari seluruh konsep tentang Allah, kerena Allah dianggap
sebagai Allah dari orang-orang yang lemah. Allah dari orang-orang lemah adalah
Allah yang lemah pula.
2.5.5.
Sigmund Freud
(1856-1939)
Ia
mengatakan bahwa Allah itu memiliki tiga fungsi utama bagi kehidupan praktis
manusia di dunia ini:
·
Allah dianggap penguasa alam. Oleh karena itu, dengan
menyembahNya manusia akan dapat mengatasi kecemasannya terhadap alam yang
begitu dasyat.
·
Keyakinan agamis memperdamaikan manusia dengan nasibnya
yang mengerikan, terutama kematian.
·
Allah memelihara dan menjaga agar ketentuan-ketentuan dan
pereturan-peraturan kultur akan dilaksanakan.
Kemudian
ia menyimpulkan bahwa religi adalah suatu ilusi yang berasal dari semacam
infantilisme atau sifat kekanak-kanakan. Dengan demikian bagi freud Allah
hanyalah ilusi.
2.6.Filsafat
Antrpologi
Cabang
filsafat yang berbicara tentang manusia disebut “Antropologi”. Yang berasa dari
kata Yunani “anthropos” yang berarti manusia.[13]
Filsafat antropologi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan apakah
manuisa itu? Apakah hakikat manusia? Bagaimanakah hubungannya dengan alam dan
sesamanya? Dengan kata lain, filsafat antropologi berupaya menemukan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagaimana adanya, baik menyangkut esensi,
eksisstensi, status maupun relasi-relasinya.[14]
Dalam filsafat manusia ini ada dua aspek hakikat manusia sebagai objek filsafat
yaitu:
- Manusia
mau dipahami seekstensif atau
seluas mungkin. Bukan berupa sifat atau gejala saja, seperti misalnya
berjalan, bekerja, malu, rasa takut, cintakasih. Pemahaman manusia harus
meliputi dan melingkupi semua sifat, semua kegiatan, semua pengertian pokoknya
aspeknya pada segala bidang semuanya
perlu dipandang sebagai sattu keseluruhan.
- Manusia
dipahami seintensif atau
sepadat mungkin. Tidak cukup diselidiki fungsi atau kegiatan manusia pada
tarraf tertentu saja, yaitu sajauh ia serupa dengan hal atau makhluk bukan
manusiawi lain; misalnya pada taraf biokimia, biologis saja. Penyelidikan
demikian hanya bersifat regional. Seluruh manusia harus dipandang sekadar
manusia, dan segala unsurnya ditinjau sekedar manusiawi. Semua aspeknya
perlu dilihat di dalam keseluruhan manusia, sejauh berhubungan dengan inti
sari manusia, dan sekadar diresapi dengan keberadaan manusia itu.[15]
Ada
4 metode filsafat manusia yakni:[16]
1.
Metode Kritis
(Negatif)
Metode
kritis bertitik tolak dari pendapat filsuf-filsuf lain, atau juga dari
teori-teori ilmu-ilmu lain, atau dari keyakinan-keyakinan sehari-hari yang agak
sentral.diselidiki konsistensinya teori-teori atau keyakinan- keyakinan itu,
yaitu apakah unsur-unsurnya dapat disesuaikan satu sama lain atau tidak.
2.
Metode Analitika
Bahasa
Metode
analitika bahasa bertitik tolak dari bahasa sehari-hari, menyelidiki hubungan
antara bahasa dan pikiran, dan guna bahasa bagi ilmu pengetahuan dan filsafat.
Sebagai metode analitika bahasa terutama meneliti bermacam-macam permainan
bahasa yang de facto dipergunakan orang di pelbagai bidang.
3.
Metode
Fenomenologis
Metode
fenomenologis ini dirintis oleh Husserl dengan semboyan “zeruck zu den sachen
selbst”, artinya kembali kepada hal-hal sendiri, atau kepada apa adanya, tanpa
mulai dengan salah satu interpretasi apriori. Perincian metode ini
baelain-lainan dan tergantung pada filsuf yang mempergunakannya. Metode
fenomenologis berusaha menemukan kembali pengalaman asli dan fundamental itu
melalui beberapa langkah atau penjabaran tertentu:
Ø Gejala atau fenomen
hanya diselidiki sajauh disadari secara langsung dan spontan sebagai yang lain
dari kesadaran sendiri.
Ø Apalagi fenomen itu
hanya diselidiki sejauh merupakan bagian dunia yang dihidupi sebagai
keseluruhan dan bukan menjadi objek bidang ilmiah yang terbatas.
4.
Metode
Transendental
Metode
ini bertitik tolak dari fakta kegiatan berbicara dan berpikir di dalam manusia.
Didalam setiap pernyataan termuat pengandaian-pengandaian yang ikut
menentukannya secara operatif dan walaupun hanya hadir secara implisit saja,
pengandaian-pengandaian itu ikut di-ia-kan di dalam setiap pengungkapan
2.7.Tokoh-tokoh
antropologi[17]
2.7.1.
Demokritos (460-370
SM)
Ia
mengajarkan bahwa manusia adalah materi. Jiwa pun adalah materi yang terdiri
dari atom-atom khusus yang bundar, halus, dan licin oleh sebab itu tidak saling
mengait satu sama lain. Demikian juga atom-atom yang berbentuk lain. Dengan
demikian atom-atom jiwa gampang menempatkan diri di antara atom-atom lainnya
dan menyebar keseluruh tubuh manusia.
2.7.2.
Plato (428-348 SM)
Ia
mengajarkan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh adalah musuh jiwa.
Karena tubuh penuh dengan berbagai kejahatan dan jiwa berada dii dalam tubuh
yang demikian itu, maka tubuh merupakan penhara jiwa. Jiwa terdiri dari tiga
bagian yaitu, akal, semangat, dan nafsu. Karena pengaruh nafsu, jiwa manusia
terpenjara dalam tubuh.
2.7.3.
Aristoteles
(384-322 SM)
Ia
mengatakan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tubuh
dan jiwa hanya merupakan dua segi dari manusia yang satu. Tubuh adalah meteri,
dan jiwa adalah bentuk. Manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
, maka konsekuensinya ialah pada saat manusia mati, baik tubuh maupun jiwa,
kedua-duanya mati. Itu berarti jiwa manusia tidak abadi.
2.7.4.
Descartes
(1596-1650 SM)
Ia
menegaskan bahwa tubuh dan jiwa dua hal yang sangat berbeda dan harus
dipisahkan. Tubuh adalah suatu mesin yang terdiri dari bagian-bagiannya yang
begitu kompleks. Adapun jiwa adalah suatu yang tidak terbagi, tidak terbatasi
oleh ruang dan waktu, ditandai oleh kegiatan rohani, seperti berpikir,
berkehendak, dan sebagainya.
2.7.5.
George Berkeley
(1685-1753 SM)
Ia
berpendapat bahwa jiwa manusia adalah pusat segala realitas yang tampak.
Penolakannya terhadap materi menunjukkan bahwa ia adalah seorang spiritualis.
Akan tetapi, idealisme subjektif spiritualitas Berkeley tidak berpangkal pada
yang abstrak, melainkan pada yang kongkret, yang diperoleh lewat pengamatan inderawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar