Senin, 14 Oktober 2013

Teologia PB tentang Spiritualitas


Menguak pengertian kerajaan Allah dalam injil Yohanes dan refleksinya dalam kehidupan mahasiswa teologi dan kehidupan warga gereja saat ini.
I. Pendahuluan
Setelah kita memahami akan kerajaan Allah menurut injil sinoptik, secara lebih khusus kita akan mencoba menguak pengertian dan makna kerajaan Allah menurut  injil Yohanes. Kami para penyaji akan mencoba membahas hal tersebut dalam pembahasan kali ini. Semoga  pembahasan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita bersama sehingga kita dapat merefleksikannya dalam kehidupan kita sehari-hari terutama dalam study kita sebagai mahasiswa teologia.
II. Pembahasan
2.1 Sekilas tentang Injil Yohanes
Injil Yohanes merupakan injil yang keempat dalam injil sinoptis. Kitab ini ditulis kira-kira pada tahun 100 M, yaitu kira-kira 70 tahun setelah Yesus tidak ada di dunia ini. Kitab ini ditulis oleh seorang penatua dari jemaat Efesus yang bernama Yohanes. Yohanes sang penatua ini bukanlah Yohanes pembaptis atau Yohanes salah seorang murid Yesus. Yohanes sang penatua memang pengagum Yohanes murid Yesus, dan banyak sekali mewarisi pokok-pokok pikiran Yohanes murid Yesus.[1] Injil ini memiliki corak yang berbeda dibandingkan dengan injil sinoptik lainnya, dimana  ia tidak memuat kisah perumpamaan dan hanya tujuh muzijat, lima diantaranya tidak termuat dalam kitab-kitab injil lainnya. pengajaran Yesus yang dikutip didalamnya lebih banyak menyangkut pribadiNya daripada ajaran etika tentang kerajaan. Injil ini sangat bercorak teologis dan terutama membahas sifat-sifat pribadi Yesus serta makna iman kepadaNya.[2] Kitab ini mempunyai latarbelakang dan cara berpikir agama Yahudi. Penulis kitab ini sangat menentang agama dan tokoh-tokoh Yahudi. Penentangan ini memberikan kesan bahwa penulisnya tidak terlalu akrab dengan agama dan pemimpin Yahudi. Namun, hal itu justru menunjukkan bahwa kitab injil Yohanes ini mempuyai latarbelakang Yahudi yang cukup kuat. Selain itu kitab injil ini sangat kaya dengan pola pikir Yunani (helenistis).[3]
Dengan latarbelakang pemikiran yang seperti itu penulis Yohanes dengan terbuka menyatakan tujuan penulisannya yaitu, “supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah mesias, anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam namaNya”(Yoh 20:30-31; Yoh 3:16). Kitab ini ditujukan kepada orang-orang diaspora (orang Yahudi dan non-Yahudi di perantauana).[4]
2.2 Makna Kerajaan dalam Injil Sinoptik
Dari epistemologi, kerajaan ini berasal dari kata basileia (Perjanjian Baru) yang memiliki beberapa unsur antara lain: unsur penguasa kerajaan Allah ; unsur cara bekerjanya kerajaan Allah; unsur kuasa kerajaan Allah; unsur waktu dan unsur warga kerajaan Allah.[5] Kaum hellenis dan dalam kekaisaran Romawi menggunakan kata basileia ini untuk seorang raja yang memiliki sifat ilahi. Mis: Alexander Agung (356-323 BC) dan Kaisar Agustus.[6] Sedangkan kaum Yudaisme menganggap istilah kerajaan surga itu adalah istilah yang menyatakan Allah hadir, tinggal, dan Allah adalah raja (lih. Kel 15:18; Yes 24: 23; 31:4).[7] Dari pemahaman kerajaan Allah dapat disimpulkan bahwa arti kerajaan Allah itu adalah :1) raja itulah yang memerintah/ raja itulah yang berdaulat. 2) Allah terkungkung dalam satu tempat. 3) Kerajaan Allah dipahami sebagai suasana atau nuansa.[8]
2.3 Arti dan Makna Kerajaan Allah dalam Injil Yohanes
Dibandingkan dengan injil-injil sinoptik lainya, injil Yohanes sangat sedikit berbicara tentang kerajaan. Hanya ada dua perikop yang menyatakan gagasan itu, yaitu pada percakapan Yesus dengan Nicodemus (Yoh. 3:3 dan 5).[9] Mengapa ajaran “Kerajaan” sangat jarang dalam Injil ini? Kemungkinan Yohanes mau menghindari pertentangan saat itu sebab injil ini ditujukan kepada orang Yahudi dan non-Yahudi yang pada dasarnya memiliki harapan akan kedatangan sang Mesias sebagai pembebas, selain itu juga kemungkinan untuk menghindari masalah komunikasi, dan terutama karena istilah itu telah agak jarang digunakan di gereja, di mana penekanan telah diletakkan pada pribadi Kristus dan karya (kristologi dan soteriologi) serta pada gereja (eklesiologi).[10]Kemungkinan lain adalah bahwa “Kerajaan” kadang-kadang digunakan secara negatif untuk bersaing oleh kelompok-kelompok gnostik dalam lingkungan  Yohanes.[11]Dilain pihak bisa saja ia beranggapan bahwa pokok itu telah cukup dibicarakan, sebab penulis injil Yohanes ini sebenarnya tahu betul betapa seringnya pengajaran itu muncul didalamnya. Tetapi nampaknya ia telah menghilangkan ucapan-ucapan tentang hal itu dengan sengaja.  tetapi keterangan yang lebih mungkin ialah bahwa ia secara khusus telah menyusun pengajaran tentang kehidupan kekal dengan cara pengajaran yang sejajar dengan kerajaan. Dalam kitab-kitab injil sinoptik, seakan-akan kedua gagasan itu, kerajaan dan kehidupan yang kekal memiliki pengertian yang sama.
Perikop pertama dalam injil Yohanes 3:3 yang terdapat dalam percakapan Yesus dengan Nicodemus. Kata-kata Yesus  sesungguhnya “jika seorang tidak dilahirkan kembali. Ia tidak dapat melihat “kerajaan Allah” sangat membingungkan Nicodemus. Gagasan kelahiran kembali dipahami secara harafiah dan karena itu hanya diterima dengan ragu. Tetapi gagasan kerajaan tidaklah membingungkan. Kita tidak dapat menebak apa yang dipikirkan Nicodemus tentang kerajaan. Namun   Nikodemus sebagai salah satu dewan orang bijaksana, sudah pasti akrab dengan kalimat "Kerajaan Allah". Sama seperti dalam injil-injil sinoptik gagasan itu di kemukakan tanpa penjelasan. Tetapi ayat ini melangkah lebih jauh dari kitab-kitab injil sinoptik dalam hal dihubungkanya “keikutsertaan dalam kerajaan” dengan “kelahiran kembali”. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa jalan masuk kedalam kerajaan itu adalah kelahiran kembali dalam arti dibutuhkan perubahan total prilaku. Tanpa perubahan total prilaku itu ia tidak bisa memasukinya.[12]
Ucapan dalam Yoh.3:5 malah lebih khusus lagi “sesungguhnya jika seorang tidak lahir dari air dan roh, ia tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Allah”. Ucapan ini membicarakan lebih dari sekedar melihat yang dipersoalkan sebagai syarat masuk. Lagipula peran serta roh dalam kelahiran kembali memperlihatkan dengan jelas bahwa ia adalah suatu pekerjaan ilahi. Pernyataan ini membuang gagasan kerajaan sebagai pekerjaan manusia. Setiap orang harus menyerahkan diri pada suatu perubahan radikal yang membuatnya menjadi suatu cipataan baru. Kelahiran baru secara rohani nampaknya sangat diperlukan sebagai suatu syarat masuk kerajaan atau lebih tepatnya ialah bahwa kelahiran baru itu menjadi pintu masuk kerajaan. Maka hal kerajaan Allah itu dipahami dalam teologi Yohanes sebagimana yang dikatakan Host Balz and Gerhard Schneider yakni mungkin lebih mengarah kepada hidup secara pribadi.[13] Dalam pemahaman tentang kerajaan Allah yang terdapat dalam Yoh.3:3 dan 5 sama-sama  memberikan pengertian yang sama yaitu untuk masuk kedalam kerajaan sorga yaitu dengan percaya dan mengalami kelahiran kembali, kerajaan sorga adalah hadiah atau milik utama bagi orang-orang percaya.[14]
Dalam Yoh. 18:33 Pilatus dalam percakapanya dengan Yesus, bertanya: “Engkau inikah raja orang Yahudi?” pertanyaan ini menggairahkan  Yesus untuk menegaskan bahwa kerajaan-Nya bukan dari dunia ini (Yoh. 18:37). Ia membedakan penafsiran kerajaan yang politis dan yang rohani, suatu pembedaan yang selaras dengan yang terdapat dalam kitab-kitab injil-injil sinoptik. Yesus lebih lanjut mengakui bahwa Ia adalah seorang raja dan kemudian menambahkan “untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang kedalam dunia ini, supaya aku memberi kesaksian tentang kebenaran” (Yoh. 18:37). Ini betul-betul merupakan pandangan yang rohani tentang kerajaan. Pernyataan itu bukan dimaksudkan untuk menyelubungi melainkan sebaliknya untuk memberi kesaksian. Pernyataan itu juga sepenuhnya bersifat pribadi “kerajaanKu”. Kata “raja” sering dipergunakan di dalam injil terhadap Yesus, dan Yesus sendiri tidak pernah membantah akan hal itu dan Ia menyatakan hal itu sebagai pangkat. Jadi istilah kerajaan Allah itu bukanlah di dunia ini, penggunaan istillah ini dalam injil Yohanes secara tidak langsung mau menyatakan bahwa kedaulatan telah digenapi oleh Mesias.[15]
Untuk melengkapkan kedua perikop yang khusus itu, ada beberapa ungkapan lain dalan injil Yohanes. Seperti Natanael menghubungkan gelar “raja orang Israel” dengan “anak Allah” (Yoh.1:49) dan kedua gelar itu diterima Yesus tanpa protes. Apapun yang dimaksudkan Natanael, Yesus menyadari bahwa diri-Nya adalah seorang raja rohani dan Ia akan memahami gelar itu dalam kerangka pengertian ini.[16] Gelar yang sama diberikan kepada Yesus ketika ia memasuki Yerusalem (Yoh. 12:13: “Hosana diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!”). Tak satupun dari penulis injil-injil sinoptik yang mencatat pengunaan gelar ini, namun mereka semua menceritakan peristiwa masuk ke Yerusalem itu sebagai suatu peristiwa yang ada hubunganya dengan raja. Sesudah Pilatus bercakap-cakap dengan Yesus mengenai masalah raja, dalam menghadapi orang Yahudi ia menyebut Yesus sebagai “rajamu” dan menulis “raja orang Yahudi” pada kayu salib (Yoh. 19:19). Dalam injil ini “kerajaan Allah” itu sama sekali bukan merupakan pusat dari ajaran Yesus, dan tanda-tanda tersebut merupakan pengesahan dari pengakuan Yesus sebagai anak Allah.[17]


[1] S. Wismowadi, Di sini kutemukan, (Jakarta: BPK-GM, 2000), 445
[2] Merriill C, Tenney, Survei Prjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 2003), 231
[3] W.R.F Browing, Kamus Alkitab,(Jakarta: BPK-GM, 2010), 498-499 
[4]  S. Wismowadi, Di sini kutemukan, 451
[5] Pondsius Takaliuang & Sussana Takaliuang,  Kerajaan Allah, (Malang: YPPII, 1993), 3
[6] Daniel Fu, Kerajaan Allah Menurut injil sinopsis, (Malang: SAAT, 1993), 7
[7] Daniel Fu, Kerajaan Allah Menurut injil sinopsis, 7
[8] Rekaman catatan Jonriahman Sipayung Kelas III-C, 19 Maret 2013
[9] George Arthur Buttrick, The Interpreter’s  Dictionary of The Biblle, (USA: Abingdon Press Nashville, 1986), 25
[10] Daniel G.Reid, Dictionari of The New Testament, (England :Intervassity Press, Ilions Leserter, 2004), 654
[11]David Moel Freedman, The Anchor Bible Dictionary KN, Vol. 4. (New york: Double Day,1967), 61
[12] Archbishop, J.H.Bernard, A Critical and Exegetical Comentari on The Gospel According To. ST. John, (New York: Edinburg, 1927), 123
[13] Host Balz and Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of The New Testament, Volume I, (USA: Michigan Grand Rapids, 1994), 215
[14] George Arthur Buttrick, The Interpreter’s  Dictionary of The Biblle, 25
[15] Daniel G.Reid, Dictionari of The New Testament, 655
[16] Donald Guthire, Teologi Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK-GM,1996), 40
[17] David Moel Freedman, The Anchor Bible Dictionary KN, Vol. 4,62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar