Menguak
pengertian kerajaan Allah dalam injil Yohanes dan refleksinya dalam kehidupan
mahasiswa teologi dan kehidupan warga gereja saat ini.
I.
Pendahuluan
Setelah kita memahami akan kerajaan
Allah menurut injil sinoptik, secara lebih khusus kita akan mencoba menguak
pengertian dan makna kerajaan Allah menurut
injil Yohanes. Kami para penyaji akan mencoba membahas hal tersebut
dalam pembahasan kali ini. Semoga pembahasan ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan kita bersama sehingga kita dapat merefleksikannya dalam kehidupan
kita sehari-hari terutama dalam study kita sebagai mahasiswa teologia.
II.
Pembahasan
2.1
Sekilas tentang Injil Yohanes
Injil Yohanes merupakan injil yang
keempat dalam injil sinoptis. Kitab ini ditulis kira-kira pada tahun 100 M,
yaitu kira-kira 70 tahun setelah Yesus tidak ada di dunia ini. Kitab ini
ditulis oleh seorang penatua dari jemaat Efesus yang bernama Yohanes. Yohanes
sang penatua ini bukanlah Yohanes pembaptis atau Yohanes salah seorang murid
Yesus. Yohanes sang penatua memang pengagum Yohanes murid Yesus, dan banyak
sekali mewarisi pokok-pokok pikiran Yohanes murid Yesus.[1]
Injil ini memiliki corak yang berbeda dibandingkan dengan injil sinoptik
lainnya, dimana ia tidak memuat kisah
perumpamaan dan hanya tujuh muzijat, lima diantaranya tidak termuat dalam
kitab-kitab injil lainnya. pengajaran Yesus yang dikutip didalamnya lebih
banyak menyangkut pribadiNya daripada ajaran etika tentang kerajaan. Injil ini
sangat bercorak teologis dan terutama membahas sifat-sifat pribadi Yesus serta
makna iman kepadaNya.[2] Kitab
ini mempunyai latarbelakang dan cara berpikir agama Yahudi. Penulis kitab ini
sangat menentang agama dan tokoh-tokoh Yahudi. Penentangan ini memberikan kesan
bahwa penulisnya tidak terlalu akrab dengan agama dan pemimpin Yahudi. Namun,
hal itu justru menunjukkan bahwa kitab injil Yohanes ini mempuyai latarbelakang
Yahudi yang cukup kuat. Selain itu kitab injil ini sangat kaya dengan pola
pikir Yunani (helenistis).[3]
Dengan latarbelakang pemikiran yang
seperti itu penulis Yohanes dengan terbuka menyatakan tujuan penulisannya
yaitu, “supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah mesias, anak Allah, dan supaya kamu
oleh imanmu memperoleh hidup dalam namaNya”(Yoh 20:30-31; Yoh 3:16). Kitab ini
ditujukan kepada orang-orang diaspora (orang Yahudi dan non-Yahudi di
perantauana).[4]
2.2
Makna Kerajaan dalam Injil Sinoptik
Dari epistemologi, kerajaan ini berasal
dari kata basileia (Perjanjian Baru)
yang memiliki beberapa unsur antara lain: unsur penguasa kerajaan Allah ; unsur
cara bekerjanya kerajaan Allah; unsur kuasa kerajaan Allah; unsur waktu dan
unsur warga kerajaan Allah.[5] Kaum
hellenis dan dalam kekaisaran Romawi menggunakan kata basileia ini untuk seorang raja yang memiliki sifat ilahi. Mis:
Alexander Agung (356-323 BC) dan Kaisar Agustus.[6] Sedangkan
kaum Yudaisme menganggap istilah kerajaan surga itu adalah istilah yang menyatakan
Allah hadir, tinggal, dan Allah adalah raja (lih. Kel 15:18; Yes 24: 23; 31:4).[7] Dari
pemahaman kerajaan Allah dapat disimpulkan bahwa arti kerajaan Allah itu adalah
:1) raja itulah yang memerintah/ raja itulah yang berdaulat. 2) Allah
terkungkung dalam satu tempat. 3) Kerajaan Allah dipahami sebagai suasana atau
nuansa.[8]
2.3
Arti dan Makna Kerajaan Allah dalam Injil Yohanes
Dibandingkan dengan injil-injil sinoptik
lainya, injil Yohanes sangat sedikit berbicara tentang kerajaan. Hanya ada dua
perikop yang menyatakan gagasan itu, yaitu pada percakapan Yesus dengan
Nicodemus (Yoh. 3:3 dan 5).[9] Mengapa
ajaran “Kerajaan” sangat jarang dalam Injil ini? Kemungkinan Yohanes mau
menghindari pertentangan saat itu sebab injil ini ditujukan kepada orang Yahudi
dan non-Yahudi yang pada dasarnya memiliki harapan akan kedatangan sang Mesias
sebagai pembebas, selain itu juga kemungkinan untuk menghindari masalah
komunikasi, dan terutama karena istilah itu telah agak jarang digunakan di
gereja, di mana penekanan telah diletakkan pada pribadi Kristus dan karya
(kristologi dan soteriologi) serta pada gereja (eklesiologi).[10]Kemungkinan
lain adalah bahwa “Kerajaan” kadang-kadang digunakan secara negatif untuk
bersaing oleh kelompok-kelompok gnostik dalam lingkungan Yohanes.[11]Dilain
pihak bisa saja ia beranggapan bahwa pokok itu telah cukup dibicarakan, sebab
penulis injil Yohanes ini sebenarnya tahu betul betapa seringnya pengajaran itu
muncul didalamnya. Tetapi nampaknya ia telah menghilangkan ucapan-ucapan
tentang hal itu dengan sengaja. tetapi
keterangan yang lebih mungkin ialah bahwa ia secara khusus telah menyusun
pengajaran tentang kehidupan kekal dengan cara pengajaran yang sejajar dengan
kerajaan. Dalam kitab-kitab injil sinoptik, seakan-akan kedua gagasan itu, kerajaan
dan kehidupan yang kekal memiliki pengertian yang sama.
Perikop pertama dalam injil Yohanes 3:3
yang terdapat dalam percakapan Yesus dengan Nicodemus. Kata-kata Yesus sesungguhnya “jika seorang tidak dilahirkan
kembali. Ia tidak dapat melihat “kerajaan Allah” sangat membingungkan
Nicodemus. Gagasan kelahiran kembali dipahami secara harafiah dan karena itu
hanya diterima dengan ragu. Tetapi gagasan kerajaan tidaklah membingungkan.
Kita tidak dapat menebak apa yang dipikirkan Nicodemus tentang kerajaan. Namun Nikodemus sebagai salah satu dewan orang
bijaksana, sudah pasti akrab dengan kalimat "Kerajaan Allah". Sama
seperti dalam injil-injil sinoptik gagasan itu di kemukakan tanpa penjelasan.
Tetapi ayat ini melangkah lebih jauh dari kitab-kitab injil sinoptik dalam hal
dihubungkanya “keikutsertaan dalam kerajaan” dengan “kelahiran kembali”. Dalam
hal ini dapat dipahami bahwa jalan masuk kedalam kerajaan itu adalah kelahiran
kembali dalam arti dibutuhkan perubahan total prilaku. Tanpa perubahan total prilaku itu ia
tidak bisa memasukinya.[12]
Ucapan dalam Yoh.3:5 malah lebih khusus
lagi “sesungguhnya jika seorang tidak lahir dari air dan roh, ia tidak dapat
masuk ke dalam kerajaan Allah”. Ucapan ini membicarakan lebih dari sekedar
melihat yang dipersoalkan sebagai syarat masuk. Lagipula peran serta roh dalam
kelahiran kembali memperlihatkan dengan jelas bahwa ia adalah suatu pekerjaan ilahi.
Pernyataan ini membuang gagasan kerajaan sebagai pekerjaan manusia. Setiap
orang harus menyerahkan diri pada suatu perubahan radikal yang membuatnya
menjadi suatu cipataan baru. Kelahiran baru secara rohani nampaknya sangat
diperlukan sebagai suatu syarat masuk kerajaan atau lebih tepatnya ialah bahwa
kelahiran baru itu menjadi pintu masuk kerajaan. Maka hal kerajaan Allah itu
dipahami dalam teologi Yohanes sebagimana yang dikatakan Host Balz and Gerhard
Schneider yakni mungkin lebih mengarah kepada hidup secara pribadi.[13]
Dalam pemahaman tentang kerajaan Allah yang terdapat dalam Yoh.3:3 dan 5
sama-sama memberikan pengertian yang
sama yaitu untuk masuk kedalam kerajaan sorga yaitu dengan percaya dan
mengalami kelahiran kembali, kerajaan sorga adalah hadiah atau milik utama bagi
orang-orang percaya.[14]
Dalam Yoh. 18:33 Pilatus dalam
percakapanya dengan Yesus, bertanya: “Engkau inikah raja orang Yahudi?”
pertanyaan ini menggairahkan Yesus untuk
menegaskan bahwa kerajaan-Nya bukan dari dunia ini (Yoh. 18:37). Ia membedakan
penafsiran kerajaan yang politis dan yang rohani, suatu pembedaan yang selaras
dengan yang terdapat dalam kitab-kitab injil-injil sinoptik. Yesus lebih lanjut
mengakui bahwa Ia adalah seorang raja dan kemudian menambahkan “untuk itulah
Aku lahir dan untuk itulah Aku datang kedalam dunia ini, supaya aku memberi
kesaksian tentang kebenaran” (Yoh. 18:37). Ini betul-betul merupakan pandangan
yang rohani tentang kerajaan. Pernyataan itu bukan dimaksudkan untuk
menyelubungi melainkan sebaliknya untuk memberi kesaksian. Pernyataan itu juga
sepenuhnya bersifat pribadi “kerajaanKu”. Kata “raja” sering dipergunakan di dalam
injil terhadap Yesus, dan Yesus sendiri tidak pernah membantah akan hal itu dan
Ia menyatakan hal itu sebagai pangkat. Jadi istilah kerajaan Allah itu bukanlah
di dunia ini, penggunaan istillah ini dalam injil Yohanes secara tidak langsung
mau menyatakan bahwa kedaulatan telah digenapi oleh Mesias.[15]
Untuk melengkapkan kedua perikop yang
khusus itu, ada beberapa ungkapan lain dalan injil Yohanes. Seperti Natanael
menghubungkan gelar “raja orang Israel” dengan “anak Allah” (Yoh.1:49) dan
kedua gelar itu diterima Yesus tanpa protes. Apapun yang dimaksudkan Natanael,
Yesus menyadari bahwa diri-Nya adalah seorang raja rohani dan Ia akan memahami
gelar itu dalam kerangka pengertian ini.[16] Gelar
yang sama diberikan kepada Yesus ketika ia memasuki Yerusalem (Yoh. 12:13: “Hosana
diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!”). Tak satupun dari
penulis injil-injil sinoptik yang mencatat pengunaan gelar ini, namun mereka
semua menceritakan peristiwa masuk ke Yerusalem itu sebagai suatu peristiwa
yang ada hubunganya dengan raja. Sesudah Pilatus bercakap-cakap dengan Yesus
mengenai masalah raja, dalam menghadapi orang Yahudi ia menyebut Yesus sebagai
“rajamu” dan menulis “raja orang Yahudi” pada kayu salib (Yoh. 19:19). Dalam
injil ini “kerajaan Allah” itu sama sekali bukan merupakan pusat dari ajaran
Yesus, dan tanda-tanda tersebut merupakan pengesahan dari pengakuan Yesus
sebagai anak Allah.[17]
[1] S. Wismowadi, Di sini kutemukan, (Jakarta: BPK-GM, 2000), 445
[2] Merriill C, Tenney, Survei Prjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 2003), 231
[3] W.R.F Browing, Kamus Alkitab,(Jakarta: BPK-GM, 2010), 498-499
[4] S.
Wismowadi, Di sini kutemukan, 451
[5] Pondsius Takaliuang & Sussana Takaliuang, Kerajaan Allah, (Malang: YPPII, 1993), 3
[6] Daniel Fu, Kerajaan
Allah Menurut injil sinopsis, (Malang: SAAT, 1993), 7
[7] Daniel Fu, Kerajaan
Allah Menurut injil sinopsis, 7
[8] Rekaman catatan Jonriahman Sipayung Kelas
III-C, 19 Maret 2013
[9] George Arthur Buttrick, The Interpreter’s Dictionary of The Biblle, (USA: Abingdon
Press Nashville, 1986), 25
[10] Daniel G.Reid, Dictionari
of The New Testament, (England :Intervassity Press, Ilions
Leserter, 2004), 654
[11]David Moel
Freedman, The Anchor Bible Dictionary KN,
Vol. 4. (New york: Double Day,1967), 61
[12] Archbishop, J.H.Bernard, A Critical and Exegetical Comentari on The
Gospel According To. ST. John, (New York: Edinburg, 1927), 123
[13] Host Balz and Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of The New Testament,
Volume I, (USA: Michigan Grand Rapids, 1994), 215
[16] Donald Guthire, Teologi Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK-GM,1996), 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar