Kekristenan di
Nias
I.
Pendahuluan
Kita telah membahas beberapa kekristenan dibeberapa
daerah yang di sebarkan oleh zending asing. Kali ini kami penyaji ingin
memaparkan bagaimana sejarah kekristenan di daerah Nias dan perkembangannya.
Semoga sajian kami kali ini memberikan informasi bagi kita semua.
II.
Pembahasan
2.1.
Keadaan Nias sebelum masuknya Injil
2.1.1.
Keadaan Geografis
Pulau Nias adalah pulau yang terletak di sebelah Barat
Pulau Sumatera yaitu diantara 00 31’ LU dan 10 32’ LU dan
970 BT dan 980 BT. Nias
berada dalam propinsi Sumatera Utara dan terdiri dari 4 kabupaten (Nias, Nias
Selatan, Nias Utara, dan Nias Barat) dan 1 kota yakni Kota Gunungsitoli.[1] Pulau ini
memanjang dari Utara ke Selatan dengan panjang kurang lebih 120 Km dengan lebar
dari Timur ke Barat kurang lebih 40 Km. Pulau-pulau kecil disekitarnya ialah
pulau-pulau Hinako (8 pulau) di sebelah Barat pulau-pulau Batu (101 pulau) di
sebelah Selatan, pulau Serambau dan pulau Onolimbu di sebelah Timur, pulau
Sanau dan pulau Lafau di sebelah Utara. Banyak diantara pulau itu yang tidak di huni secara tetap oleh
penduduk. Luas seluruh pulau ini termasuk pulau-pulau disekitarnya kurang lebih
5.625 km2. Yang sebagian besar masih ditutupi oleh hutan sekunder.
Hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun.[2]
2.1.2.
Keadaan Agama
Para Leluhur Nias kuno menganut kepercayaan Animisme
murni. Mereka mendewakan roh-roh yang
tidak kelihaan dengan berbagai sebutan, misalnya: Lo walangi, Laturadanӧ, Zihi,
Nadoya, Luluӧ dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut memiliki sifat dan fungsi yang
berbeda-beda. Selain roh-roh/dewa yang tidak kelihatan dan tidak dapat diraba tersebut diatas, mereka juga memberhalakan
roh-roh yang berdiam didalam benda berwujud misalnya: berbagai jenis patung,
(Adu Nama. Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Wӧlӧ, adu Siraha Horӧ, Adu Horӧ dan
lain-lain) yang dibuat dari bahan batu atau kayu dan juga percaya pada pohon
tertentu misalnya: Fӧsi, Sӧwӧ, Endruo dan lain-lain. Oleh karena masyarakat
Nias percaya terhadap banyak dewa, maka sering disebut bahwa orang Nias kuno
menganut kepercayaan Politheisme.[3]
2.1.3.
Keadaan Sosial Budaya
Sistem sosial Nias mereka dikelompokkan dalam satu
kesatuan yang disebut “Banua”. Istilah banua itu menunjukkan kepada tiga
pengertian yang saling berkaitan. Banua dalam arti yang pertama berati langit,
menurut cerita rakyat yang masih hidup di sana nenek moyang penduduk Nias
berasal dari suatu kerajaan diatas langit yang bernama Kerajaan Teteholi’ana’a.
Banua dalam arti yang kedua adalah suatu susunan masyarakat yang terdiri dari
seorang pemimpin yang disebut “Salawa” (yang tertinggi, didampingi oleh
beberapa pembantunya yaitu “Tambalina” atau orang yang kedua. Golongan yang
ketiga yaitu “Sifao” (yang turut serta) atau “Solo’o” (pengikut) yaitu mereka
yang terdiri dari anggota biasa yang menyatakan dirinya ikut dalam suatu banua
tertentu.
Banua ini adalah suatu kelompok sosial pada tingkatan
pertama dan kumpulan dari beberapa banua mewujudkan suatu kelompok sosial yang
lebih tinggi yang disebut “Ori”.[4]
Masyarakat Nias juga sudah mengenal pelapisan
masyarakat. Pada zaman dulu, masyarakat Nias mengenal empat lapisan masyarakat,[5]
yakni:
a.
Siulu
(bangsawan)
b.
Ere
(pemuka
agama)
c.
Ono
mbanua (rakyat jelata)
2.1.4.
Keadaan Ekonomi
Penduduk daerah ini sebagian besar bekerja sebagai
petani, karena di daerah itu mempunyai dua musim yaitu hujan dan kemarau yang
datang silih berganti. Pada umumnya ladang yang dikerjakan sekitar bulan
Mei-juni tiap tahun, dan sawah pada bulan Juli daan Agustus. Tanaman yang
mereka tanam yaitu padi, tanaman palawija seperti: ubi rambat, ketela pohon,
kacang dan lain-lain. Selain bertani masyarakat Nias juga umumnya beternak
babi, karena bagi masyarakat Nias, babi mempunyai peran penting dalam seluruh
kehidupan sosial budaya Nias. Sehingga diantara seluruh tanaman palawija
tersebut, ubi rambat adalah tanaman yang penting yang baru dipungut hasilnya
setelah panen padi. Dan dianggap penting karena ubi rambat merupakan bahan
makanan penduduk utama bagi ternak babi yang dipelihara oleh hampir semua
masyarakat Nias.[7]
2.1.5.
Keadaan Politik
Di dalam masyarakat Nias dikenal sistem pemerintahan
bertingkat, yang terdiri dari:
a.
Ngafu/fongambatö
(keluarga), yang dipimpin oleh seorang bapak sebagai kepala keluarga.
b.
Banua
(kampung),
merupakan kesatuan dari beberapa ngafu/fongambatö
yang terikat dalam satu kekerabatan, dan dipimpin oleh seorang Salaŵa (Kepala Kampung).
c.
Őri,
yang
merupakan pemerintahan tertinggi. Őri
merupakan pemerintahan yang terdiri dari beberapa banua yang dipimpin oleh Tuhenöri. Tuhenöri mempunyai beberapa
staf yang disebut Tambalina, Fahandrona, dan
Sida’öfa. Dalam pemerintahan ini
terdapat undang-undang atau peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan
masyarakat Nias dalam satu öri. Hukum
atau peraturan ini disebut fondrakö.[8]
Hukum ini diformulasikan pada sidang raksasa yang diadakan sekali dalam
tujuh tahun, yang khusus di Nias Selatan fondrakö
ini dikenal dengan nama famadaya
saembu dan famadaya harimao.[9]
Peserta sidang hukum fondrakö
ini terdiri dari para tua-tua adat, tokoh-tokoh masyarakat,
hulubalang-hulubalang dan rakyat keseluruhan dari satu atau beberapa öri.[10]
Sesudah
kemerdekaan mulailah diterapkan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia
yang dikenal sebagai desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi. Masing-masing
pimpinannya dipilih secara demokrasi. Dengan tidak berfungsinya Tuhenöri maka Fondrakö berangsur-angsur mulai hilang, diperkuat dengan
penghapusan öri dalam struktur
pemerintahan.
2.2.
Masuknya Injil ke Nias dan Perkembangan Kekristenan di
Nias (1865-1992)
2.2.1.
Kekristenan pada masa Belanda (1865-1930)
Pemberitaan Injil di Pulau Nias, pertama sekali
dirintis oleh dua orang misionaris Katolik yakni Pere Wallon dan Pere Barart
dari badan zending Mission Etrangers de Paris pada tahun 1822/1823.
Namun, mereka tidak berhasil membaptis orang Nias karena setelah tenggang waktu
yang belum lama, karena hanya 3 hari
setelah mereka berada di Nias, seorang diantara meninggal dunia, sedangkan yang
lainnya keduanya meninggal dunia dalam jangka
waktu yang berlainan (sekitar 3 bulan) karena penyakit malaria.[11]
Pada tanggal 27 September tahun
1865, misionaris Protestan yakni
Ludwig Ernst Denninger datang untuk memberitakan
Injil di Nias setelah belajar bahasa Nias, dan mengenal sedikit budaya Nias
kepada orang-orang Nias yang merantau di Padang. Denninger diutus oleh badan
zending RMG[12]
yaitu salah satu badan zending Jerman. Denninger mengajar para pemuda membaca
dan menulis. Pada tahun 1873 RMG mengutus J.W Thomas dan membuka pos pekabaran
Injil di Ombölata, dan Kramer (1874) menetap di Hilina’a, Nias. Di sanalah
mereka membaptis orang Nias. Sehingga sejak tahun 1873-1876, ada 63 orang yang dibaptis dalam 3 periode waktu yaitu tahun 1874 tepat di hari
Paskah 25 orang oleh Kramer di kampung Hilina’a, 6 orang di Ombӧlata tahun 1875
lalu disusul 32 orang di Faechu oleh Thomas. Dalam tahun 1876 itu ula berdiri gedung gereja di
Ombӧlata. Inilah gedung gereja yang pertama didirikan diatas pulau Nias yang
disusul kemudian oleh gedung gereja di Faechu pada tahun 1880.[13]
Pada tahun 1876 W.H. Sundermann datang di Gunungsitoli
dan membuka pos pekabaran Injil di Dahana. Dia menulis beberapa buku tentang
iman Kristen dan pengetahuan umum seperti yang diajarkan di sekolah biasa di
Jerman, sebagai pedoman pelajaran bagi pemuda. kemudian
ia mengumpulkan pemuda setempat dan mengajar mereka
membaca dan menulis. Inilah permulaan berdirinya sekolah guru di Nias. Pada
tahun 1881 datanglah utusan RMG yaang
bernama J. A. Fehr. Ia menggantikan Thomas di Ombölata, sementara Thomas
sendiri membuka pos pekabaran Injil di Sa’ua., ia menetap di Ombölata, dan Allet (1896) diutus ke
Sirombu (Nias Barat) di Tugala Lahömi, ia membaptis sebanyak 72 orang (Tugala
Lahömi dan Lahusa). Setelah itu, Sporket (1899) datang di Moro’ö dan
memberitakan Injil di sana, dan W. Hoffman di Hinako. Mereka membangun jalan
raya, membuka perkebunan kopi, karet, kelapa, cengkeh, dll, untuk tujuan
kelancaran pemberitaan Injil.[14]
Faktor-faktor yang menyebabkan pekabaran Injil sangant
lambat dan tidak bisa bergerak ke daerah yang lebih jauh dalam periode ini
ialah:
- Tidak ada jaminan keamanan di seluruh pulau Nias.
Sebab pemerintah Belanda baru menguasai Gunng Sitoli pada tahun 1890,
namun perlawanan penduduk dibagian selatan masih belum terpatahkan.
- Penduduk yang terpencar-pencar dalam
kesatuan-kesatuan kampung yang tersebar di seluruh pulau Nias, dan sukar
untuk dicapai dengan jalan kaki.
- Kepercayaan penduduk dalam agama suku.[15]
Dengan demikian, sejak tahun 1891-1916, usaha pekabaran
Injil telah sampai di pedalaman, daerah Nias Barat.
2.2.2.1.Masuknya Injil di Nias
Bagian Tengah Sampai ke Pantai Sebelah Barat
Pada tahun 1896, Sundermann pindah ke Lölöwua (18 km
sebelah barat Gunungsitoli) dan membuka pos pekabaran Injil di daerah itu. Di
sini ia menterjemahkan Alkitab dan Kathekismus Luther ke dalam bahasa Nias.
Pada tahun 1905, E. Fries tiba di Nias dan membuka pos pekabaran Injil di
Sifaoro’asi (55 km sebelah barat daya Gunungsitoli). Empat tahun kemudian,
terjadilah pembaptisan dan peresmian gedung gereja yang pertama di daerah itu.[16]
Setelah RMG membuka jalan yang tembus ke
kampung-kampung, akhirnya pada tahun 1892 A. Lett membuka pos pekabaran Injil
di Tugala-Sirombu (sebelah barat Pulau Nias). Setahun kemudian, H. Lagemann
membuka pos pekabaran Injil di Lahagu (35 km sebelah barat Gunungsitoli). Pada
tahun 1899, Sporket membuka pos pekabaran Injil di Lölömboli dan bersamaan
dengan itu dibuka pula di Hinako pos pekabaran Injil oleh W. Hoffman. Tahun
1905 dibuka pos pekabaran Injil di Tugala-Oyo oleh Pilgenroder dan tahun 1906
di Lölömoyo oleh Bassfeld. Berawal dari sini, Injil disebarkan di seluruh
wilayah Nias sebelah barat dan tengah, termasuk Pulau-pulau Hinako.
2.2.2.2.Masuknya Injil di
Daerah Pantai Sebelah Timur Sampai di Nias Sebelah Selatan
Pada tahun 1891, J.W. Thomas membuka pos pekabaran
Injil di Humene (11 km sebelah selatan Gunungsitoli). Sebelumnya ia pernah
membuka pos pekabaran Injil di Sa’ua tetapi gagal karena perang saudara yang
berkecamuk di antara para őri.
Penduduknya miskin dan wabah penyakit melanda desa itu sehingga penduduk
tertarik dengan berita Injil.[17]
Pada tahun 1893, 115 orang penduduk dibaptis.
Di sebelah utara Humene, Momeyer membuka pos
pekabaran Injil di Sogae’adu pada tahun 1899, dan di Bio’uti pada tahun 1903
oleh Rabeneck dan di Baŵalia oleh Bieger pada tahun 1905. Di Hilisimaetanö
berita Injil baru masuk dengan datangnya B. Borutta pada tahun 1911.[18]
2.2.2.3. Masuknya Injil di Nias
Sebelah Utara
Pada tahun 1903, Pdt. Noll membuka pos pekabaran Injil
di Bo’usö. Berita keselamatan ini
dengan cepat tersiar di kalangan penduduk di sebelah utara melalui orang-orang
yang datang dan pergi ke Bo’usö. Maka
pada tahun 1910, tiga orang Salaŵa (kepala desa) yang dipimpin oleh Tuhenöri
Ama De’ali dari Hilindruria datang kepada Pdt. Noll memohon supaya pos
pekabaran Injil dibuka di Hilimaziaya. Dari sini berita Injil tersiar sampai ke
ujung Nias sebelah utara, yaitu Afulu dan Lahewa. Akhirnya pada tahun 1922
dibuka pos pekabaran Injil di Lahewa oleh Pdt. Skubina.[19]
2.2.2.4. Masuknya Injil di Pulau-pulau Batu
Pulau-pulau Batu merupakan suatu gugusan pulau-pulau
yang terletak di antara Pulau Nias dan Pulau-pulau Mentawai. Daerah ini terdiri
dari kira-kira 101 buah pulau-pulau kecil. Usaha pekabaran Injil dimulai pada
tahun 1889 oleh Pdt. Johannes Kersten yang merupakan utusan dari lembaga
Pekabaran Injil Lutheran di negeri Belanda.[20]
Ia mendarat di Pulau Tello pada tanggal 25 Februari 1889. Seperti halnya di
daratan Nias, di sini juga sering terjadi wabah penyakit dan peperangan antara
kelompok penduduk. Pada akhir tahun 1889, datanglah Pdt. C.W. Frickenschmit dan
disusul oleh Pdt. P. Landwer yang membuka pos pekabaran Injil di Sigata pada
tahun 1896. Usaha mereka pertama-tama ialah membuka sekolah-sekolah di
pulau-pulau yang berdekatan, dan dari sekolah-sekolah inilah diteruskan
pekerjaan pekabaran Injil. Dengan cara demikian, mereka membuka pos pekabaran
Injil di pulau-pulau Batu lainnya.[21]
2.2.3.
Pertobatan
Massal (1915-1930)
Pada tahun 1916 berlangsunglah gerakan pertobatan
massal di Pulau Nias, yang dalam bahasa Nias disebut “fangesa dödö sebua”.[22]
Gerakan ini bertolak di wilayah Helefanikha, wilayah Humene dalam suatu
kebaktian Perjamuan Kudus bulan April 1916. Dalam jangka waktu 2 – 3 bulan
gerakan itu meliputi seluruh Nias daratan dan karenanya kekristenan berkembang
dengan pesat. Pada tahun 1929 orang Kristen di Nias berjumlah 85.000 jiwa.
Peningkatan yang terjadi bukan hanya secara
kwantitatif saja, tetapi juga dalam hal spritualitas. Hal ini dapat dilihat
dengan banyaknya patung, ilmu-ilmu sihir dan racun yang dimusnahkan.
Perselisihan dan peperangan di antara penduduk mulai berkurang, kerukunan mulai
berkembang, ketaatan kepada pemerintah mulai dinampakkan. Pada tahun 1914 di
Ombölata dibuka sekolah pendeta. Sekolah-sekolah juga sudah banyak yang
berdiri.[23]
2.2.4.
Berdirinya BNKP
Setelah gerakan kebangunan mereda, para zendeling
mulai memikirkan kemandirian gereja. Pada tahun 1936 selesailah mereka
mencanangkan Tata Gereja.[24]
Sinode pertama BNKP dilaksanakan pada bulan November 1936. Sinode BNKP yang
baru berdiri itu dipimpin oleh Pdt. A. Luck dari RMG sebagai Ketua Sinode atau
Ephorus hingga sampai pada tahun 1940. Pada awal berdirinya masih belum
disahkan oleh Pemerintah Belanda tetapi pada tanggal 18 Maret 1938 Anggaran
Dasar BNKP dinyatakan sah, yang dicatat dalam Lembaran Negara No. 138 YO 14
Desember 1948 No. 1857/18/AK/48. Keinginan pengurus RMG di Barmen supaya semua
pekabar Injil bangsa Eropa otomatis menjadi anggota sinode dipenuhi, tetapi
para zending menolak permintaan Kristen pribumi agar kepala suku ikut dalam
sidang sinode. Pada tahun 1940 semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh
gubernemen karena Jerman telah menyerang Belanda, maka fungsi Ketua Sinode
diambil alih oleh seorang pendeta dari suku Nias yang bernama Atoföna Harefa.
2.2.5.
Pada
Masa Jepang (1942-1945)
Pada tahun 1942, para pendeta Belanda yang telah
menggantikan orang Jerman yang ditawan itu di intenir pula oleh
penguasa Jepang. Maka di sinilah gereja BNKP harus berdiri sendiri tanpa
didampingi oleh para zending.[25]
Berhubungan dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka
semua tentara Jepang mengangkat kaki dari Pulau Nias karena kekalahan mereka
dari perang dunia kedua dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima dan
Nagasaki.
Hubungan BNKP dengan zending RMG Jerman terjalin
kembali pada tahun 1951 dengan kedatangan dua orang utusan RMG yang bernama
Pdt. A. Schneider dan Pdt. Dormann. Tetapi pada saat itu dalam BNKP mereka
hanya berfungsi sebagai penasehat pimpinan gereja.
Sementara di Pulau-pulau Batu juga telah berdiri
gereja dengan nama Banua Keriso Protestan (BKP) sebagai hasil pekabaran Injil
yang dimulai pada tahun 1889 oleh zending Belanda. Gereja BKP berdiri tahun
1945 dan kemudian tahun 1960 BKP menggabungkan diri dengan BNKP pada
persidangan sinode BNKP ke-25 yang berlangsung di Ombölata.[26]
2.2.6.
Terjadinya
Perpecahan Dalam Tubuh BNKP Sejak Tahun 1933 – 1992
Sumber penyebab terjadinya konflik ini tidak hanya
terjadi di tengah-tengah lingkungan keluarga, lingkungan pekerjaan baik
dipemerintahan maupun di swasta tetapi juga di lingkungan masyarakat dan juga
di lingkungan gereja di mana dan kapan pun kita berinteraksi dengan orang lain.
Pada tahun 1933, muncul sekte yang menyebut diri sebagai
kelompok persekutuan atau Fa’awösa
yang kemudian menjadi Fa’awösa
chö Yesu (Persekutuan kepada Yesus) dan Fa’awösa chö Geheha (Persekutuan
di dalam Roh Kudus).[27]
1) Gereja
AMIN (1936 – 1940)
Salah satu penyebab berpisahnya gereja AMIN dengan
BNKP adalah karena masalah mutasi. Pdt. Singamböwö Zebua tidak menerima
keputusan pemimpin BNKP yang memindahkannya dari tempat pelayanannya ke Lahusa.
Ketidakpuasan para pendeta BNKP terhadap keputusan-keputusan dari pemimpin BNKP
dalam hal mutasi ini berujung perpecahan. Ditambah lagi ketidakpuasan jemaat
atas pelayanan BNKP yang tidak memperhatikan jemaat yang ada di Humene.
Keinginan untuk berpisah dari BNKP juga didukung oleh Tuhenöri Adolf Gea dan
kepala kejaksaan yang berasal dari Manado, bernama Adris. Di sini terlihat
adanya kepentingan pribadi dari pihak Tuhenöri Adolf Gea dan Idris.
Angowuloa Masehi Idanoi Nias (AMIN) kemudian berubah
nama menjadi Agama Masehi Indonesia Nias (AMIN). Alasannya karena pemakaian
“Idanoi” memberi kesan bahwa AMIN hanya mencakup sekitar wilayah Idanoi,
sementara AMIN telah memiliki jemaat di berbagai daerah di Indonesia. Kemudian
namanya diubah lagi menjadi Angowuloa Masehi Indonesia Nias (AMIN). Gereja AMIN
sudah terdaftar sebagai anggota PGI dengan nomor urut PGI ke-52 dan LWF dan
juga telah bergabung dalam PGID (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Daerah)
Nias. Struktur organisasi kepemimpinannya yakni: Sinode dan Jemaat. [28]
2) Gereja
ONKP
Faktor penyebab berpisahnya ONKP dari BNKP berawal
dari kecemburuan jemaat Nias Barat terhadap pelayanan BNKP. Dalam hal ini
faktor kedaerahan berperan. Apalagi pada saat sidang sinode BNKP tahun 1950,
Pdt. K.D. Marundruri merasa terhina karena ia tidak diberi kesempatan berbicara
dalam sidang itu. Hal ini menyangkut masalah harga diri.
Pada tahun 1980-an ONKP telah menjalin hubungan
kerja sama dengan gereja-gereja lain, di antaranya dengan GPM (Gereja Protestan
Maluku) dan GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa). Hubungan kerjasama itu
seperti pengiriman anggota ONKP untuk menuntut ilmu di STT GPM Ambon dan GMIM
Manado dengan beasiswa dari gereja GPM dan GMIM. Kemudian pada tahun 1986 GPM
mengutus Pdt. Th.J. Nanulaitta sebagai Tenaga Utusan Gerejawi (TUG) untuk
melayani di Gereja ONKP dan berakhir pada tahun 1990.[29]
Pada tahun 1988 Gereja ONKP telah terdaftar sebagai anggota PGI dan berpusat di
Tugala Lahömi-Sirombu[30]
3) Gereja
BKPN dan GNKPI
Pada awalnya keduanya bergabung dengan nama BNKPI
dan mereka berpisah dari BNKP karena beberapa alasan, pertama: ketidakpuasan
beberapa pendeta atau para pelayan atas keputusan sinode BNKP di Ombölata tahun
1992 dan menganggap pemimpin BNKP bertindak otoriter. Kedua: pemilihan anggota
BPMS tidak mencerminkan pewilayahan BNKP. Dalam hal ini faktor kedaerahan
berperan. Ketiga: masalah keuangan yang menurut mereka telah dimanipulasi.
Sebelum BNKP berdiri pun, yakni pada saat jemaat
masih di bawah pimpinan zending, juga pernah terjadi perpecahan di dalam jemaat
yakni suatu kelompok jemaat yang menamakan dirinya Fa’awösa. Berpisahnya
Fa’awösa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: adanya kepentingan
pribadi, buktinya Thomas Lömbu tidak patuh terhadap peraturan zending dalam hal
memimpin suatu persekutuan. Dalam hal ini mereka mengorganisir Fa’awösa sebagai
suatu perkumpulan khusus dengan dana sendiri, terpisah dari jemaat pimpinan
zending yang lain. Hal ini menunjukkan adanya pengelompokkan di dalam jemaat
sehingga dapat memacu timbulnya perpecahan.[31]
Selain
itu, masalah keuangan juga menjadi salah satu penyebabnya, di mana Fa’awösa tidak rela bila kas-nya diambil alih oleh pihak zending.
Munculnya aliran Ama Haogö pada tahun 1960-an adalah satu-satunya kelompok yang
berpisah dari BNKP disebabkan oleh masalah teologis.
[1] Nama kota
Gunungsitoli berasal dari nama gunung yang terletak dalam pusat kota
Gunungsitoli. Sementara nama gunung itu sendiri berasal dari nama seorang putra
baginda Lochozitolu Zebua yang bernama Toli Ana’a dengan nama panggilan
sehari-hari Katoli dan ia dikuburkan di gunung itu. Kemudian, Hiligatoli itu
diterjemahkan dalam bahasa Melayu yang berakulturasi dengan bahasa Nias menjadi
Gunungsitoli, yaitu Hili = gunung; gatoli = ka Toli = si Toli atau Sitoli.
Dalam dokumen resmi yang ditemukan, istilah Gunungsitoli muncul tatkala
diadakan kontrak dagang VOC Belanda dengan raja dari Gunungsitoli, tertanggal
23 Maret 1693. Alasan pemakaian bahasa Melayu dalam istilah “Gunungsitoli” itu
ialah karena bahasa Melayulah yang dipakai sebagai bahasa umum di seluruh
Nusantara pada saat itu, dan orang Belanda telah banyak yang dapat berbahasa
Melayu. F. Zebua, Kota Gunungsitoli:
Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, (Gunungsitoli: t.p.,
1992),
71, 73.
[2] W. Gulo, Benih yang Timbuh XIII, suatu survei menyeluruh
tentang Banua Niha Keriso Protestan di Nias, (Semarang: Percetakan Satya
Wacana, 1983), 2
[3] http://niastanoniha.blogspot.com/2009/08/wahana-kepercayaan-tradisional-nias.html,
diakses 24 September 2012
[6] Budak atau sawuyu, pada konsep asli tata
kemasyarakatan Nias, tidak dijumpai. Kaum budak timbul kemudian karena beberapa
alasan, misalnya: tawanan perang, orang yang tidak sanggup membayar utangnya
lalu dijadkan budak, yang seyogyanya ia dihukum mati karena kesalahan yang
cukup berat lalu ditebus oleh seorang bangsawan dan dia dijadikan budak.
Bambowo Laiya, Op. Cit., (sendi-sendi
masyarakat Nias), 26. Bnd. Peter Suzuki, The Religius System and Culture of Nias, Indonesia, S-Gravenhage:
Uitgeverij Excelsior-Oranjeplein 96, 1959, 45. Zaman dulu kaum budak itu tidak
ada, lalu ada beberapa waktu kemudian, dan zaman sekarang kembali tidak ada.
Budak-budak yang dahulu dikenal di Pulau Nias, tidak kelihatan lagi saat ini,
karena identitasnya sudah kabur dan mereka kemungkinan besar sudah berafiliasi
dengan strata rakyat kebanyakan.
[8] Fondrakö, yang dikenal oleh seluruh Ono Niha di seluruh Tano Niha
merupakan kumpulan dan sumber segala hukum yang menjadi landasan hidup Ono Niha, baik sebagai perorangan maupun
sebagai masyarakat. Pada dasarnya fondrakö
itu menyuruh berbuat baik dan melarang segala corak kejahatan, serta
memberi dorongan dan petunjuk untuk berbuat menurut jiwa dari fondrakö itu. Jiwa dari fondrakö itu yakni: masi-masi (kasih sayang), möli-möli
(pengasuhan/pencegahan), rourou
(pendorong berbuat/pengasahan). Sökhiaro Welther Mendröfa, Fondrakö Ono Niha, Jakarta: Inkultra Fondation Inc. 1981, 11. Bnd.
Di dalam Fondrakö memuat norma untuk
mencapai kepenuhan hidup yang terdiri dari 5 hal pokok: amonita (terkait dengan bakti sembah dan pantang), fokhö fo’ölö (mencari hidup), hao-hao (perilaku yang terpuji), fowanua (cara berkomunitas dalam
kampung) dan böwö masi-masi (kasih
sayang untuk anak dan orang yang berkesusahan). Marinus Telaumbanua, Budaya Nias Sekilas Pandang: Karakteristik
Masyarakat Nias, (Gunungsitoli:
t.p. 2008),
3
[9] Bambowo Laiya, Sendi-sendi Masyarakat Nias dalam Peninjau
Volume 2 No. 1 tahun 1975,( Nias: t.p. 1975), 20
[12] RMG adalah lembaga
pekabaran Injil dari kawasan Rheinland, Jerman yang berasal dari lingkungan
gereja yang menganut aliran Uniert (campuran Lutheran dan Calvinis). Sejak
1970-an RMG bergabung di Bethelmission dan berubah nama menjadi Vereinigte
Evangelische Mission (VEM). Lalu sejak 1990-an bertahap berubah nama dan wujud
lagi menjadi United in Mission (UiM), dengan memasukkan gereja-gereja mitra di
dunia ketiga (Asia, Afrika dan Amerika Latin) menjadi anggota dan ‘pemilik’
harta benda sekaligus pemikul tanggungjawab pekerjaan badan ini. Jan S. Aritonang,
Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar
Gereja, Jakarta: BPK – GM, 1995, 23. Perubahan yang paling
mendasar dari lembaga ini terjadi pada tahun 1996 ketika ia berubah menjadi
lembaga Internasional bernama Vereinigte Evangelische Mission (VEM) atau dalam
bahasa Inggeris: United Evangelical Mission (UEM). Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther &
Relevansinya di Indonesia, (Pematang
Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008), 251.
[17] Para zending
memberikan gratis kepada masyarakat pribumi yang pada saat itu diserang
penyakit, misalnya: disentri, malaria, cacar dan lain-lain. Di sela-sela
kegiatan pengobatan, para zending memberitakan Injil dan masyarakat Nias
sendiri menjadi lebih terbuka kepada Injil itu dan meninggalkan pengobatan yang
dilakukan oleh ere yang merupakan
pemuka agama dalam agama suku Nias.
[22] Pada awalnya, seorang
anggota jemaat yang bernama Filemo, terpukau oleh Firman Tuhan yang telah
didengarnya di gereja. Di dalam hatinya tumbuh kesadaran bahwa dirinya tak layak
di hadapan Tuhan. Ia menangis terus-menerus. Kemudian teman-temannya membawanya
kepada zending yang ada di Humene. Pendeta tersebut menjelaskan bahwa Filemo
sedang menyesali dosanya. Ia menganjurkan supaya Filemo minta maaf kepada
orang-orang yang pernah ia berbuat salah. Dan orang kepada siapa ia minta maaf,
akhirnya mengalami pula gejala yang sama dengan apa yang dialami oleh Filemo.
Saling memaafkan itu akhirnya berkelanjutan hingga menyebar ke seluruh Pulau
Nias.
[24] Fungsi Tata Gereja
adalah menciptakan suasana sopan dan teratur dan menetapkan peraturan-peraturan
yang harus diikuti untuk mewujudkannya. G. P. H. Locher, Tata Gereja-gereja Protestan di Indonesia, (Jakarta: BPK – GM,
1997),
218.
[27] Pada
tahun 1930-an ditemukanlah sekelompok orang Kristen di Sogae’adu yang berkumpul
mengadakan kebaktian-kebaktian di hari-hari biasa, selain pada hari Minggu.
Gerakan persekutuan ini tidak diatur oleh gereja atau para misionaris,
melainkan atas inisiatif mereka sendiri. Gerakan persekutuan ini disebut
“Fa’awösa” dan dipimpin oleh Thomas Lömbu atau juga disebut Ama Wohachi.
Pertobatan Ama Wohachi berawal dari ketika ia kembali dari tugasnya sebagai
mandor jalan. Sepulangnya bertugas dari Idanö Gawo, tepatnya pada tanggal 9
Nopember 1925 pukul 19.00 wib, tiba-tiba ia rebah, jatuh dan tidak sadar
(pingsan) karena ia melihat suatu kilat di langit dan ada suara yang
mengatakan: “He Toma, he Toma, he Toma, U
tuyu ndra’ugö fakake-Gu ba niha si tefuyu tödö”, yang artinya: “Hai Thomas,
hai Thomas, hai Thomas, Aku memilih engkau menjadi alat-Ku dan mengutusmu
kepada orang sesat”. BPMS AFY, Sejarah
Singkat AFY, Nias, 1-2.
Kemudian, mereka mulai
mengorganisir Fa’awösa sebagai satu perkumpulan khusus dengan dana tersendiri.
Setiap anggota Fa’awösa diwajibkan membayar iuran untuk dimasukkan ke dalam kas
Fa’awösa yang jumlahnya telah ditentukan dan menurut mereka, segala peraturan
itu diterima dari Roh Kudus. Pada saat itu, misionaris yang bertugas di
Sogae’adu yang bernama Beel, memutuskan untuk mengambil alih penyimpanan kas
Fa’awösa. Inilah yang menjadi alasan Fa’awösa untuk berpisah dari pimpinan
zending. Mereka merasa telah ditindas dalam hal hak mandiri dalam bidang
keuangan. W.A. Ginsel, Op. Cit., 25.
Sedangkan menurut hasil wawancara dengan Pdt. Sab. Waruwu, S.Th (Ephorus Gereja
AFY Periode 2006 – 2010) menegaskan bahwa bukanlah karena masalah uang penyebab
Gereja AFY berpisah dari jemaat pimpinan zending, tetapi oleh karena
persekutuan doa yang dipimpin oleh Thomas tidak seizin zending.
AFG sudah terdaftar di
Departemen Agama sebagai suatu badan organisasi gereja. Susunan kepemimpinannya
yakni: Sinode, Resort, Jemaat.
[28] Tuhoni Telaumbanua, Cross and Adu, (S-Gravenhage:
Uitgeverij Boekencentrum-Zoetermeer, 2007), 223 – 224.
[31] Pernyataan di atas
bukan bermaksud bahwa adanya kelompok-kelompok PA dapat menimbulkan perpecahan,
tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika kelompok-kelompok tersebut
mengklaim dirinya lebih rohani dari yang lain. Sehingga persekutuan itu
diadakan untuk mencari kemuliaan mereka sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar