Senin, 14 Oktober 2013

Sejarah Gereja Indonesia


Kekristenan  di Nias
I.                   Pendahuluan
Kita telah membahas beberapa kekristenan dibeberapa daerah yang di sebarkan oleh zending asing. Kali ini kami penyaji ingin memaparkan bagaimana sejarah kekristenan di daerah Nias dan perkembangannya. Semoga sajian kami kali ini memberikan informasi bagi kita semua.
II.                Pembahasan
2.1.            Keadaan Nias sebelum masuknya Injil
2.1.1.                                               Keadaan Geografis
Pulau Nias adalah pulau yang terletak di sebelah Barat Pulau Sumatera yaitu diantara 00 31’ LU dan 10 32’ LU dan 970 BT dan 980 BT. Nias berada dalam propinsi Sumatera Utara dan terdiri dari 4 kabupaten (Nias, Nias Selatan, Nias Utara, dan Nias Barat) dan 1 kota yakni Kota Gunungsitoli.[1] Pulau ini memanjang dari Utara ke Selatan dengan panjang kurang lebih 120 Km dengan lebar dari Timur ke Barat kurang lebih 40 Km. Pulau-pulau kecil disekitarnya ialah pulau-pulau Hinako (8 pulau) di sebelah Barat pulau-pulau Batu (101 pulau) di sebelah Selatan, pulau Serambau dan pulau Onolimbu di sebelah Timur, pulau Sanau dan pulau Lafau di sebelah Utara. Banyak diantara pulau itu  yang tidak di huni secara tetap oleh penduduk. Luas seluruh pulau ini termasuk pulau-pulau disekitarnya kurang lebih 5.625 km2. Yang sebagian besar masih ditutupi oleh hutan sekunder. Hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun.[2]
2.1.2.                                               Keadaan Agama
Para Leluhur Nias kuno menganut kepercayaan Animisme murni.  Mereka mendewakan roh-roh yang tidak kelihaan dengan berbagai sebutan, misalnya: Lo walangi, Laturadanӧ, Zihi, Nadoya, Luluӧ dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda. Selain roh-roh/dewa yang tidak kelihatan dan tidak  dapat diraba tersebut diatas, mereka juga memberhalakan roh-roh yang berdiam didalam benda berwujud misalnya: berbagai jenis patung, (Adu Nama. Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Wӧlӧ, adu Siraha Horӧ, Adu Horӧ dan lain-lain) yang dibuat dari bahan batu atau kayu dan juga percaya pada pohon tertentu misalnya: Fӧsi, Sӧwӧ, Endruo dan lain-lain. Oleh karena masyarakat Nias percaya terhadap banyak dewa, maka sering disebut bahwa orang Nias kuno menganut kepercayaan Politheisme.[3]
2.1.3.                                               Keadaan Sosial Budaya
Sistem sosial Nias mereka dikelompokkan dalam satu kesatuan yang disebut “Banua”. Istilah banua itu menunjukkan kepada tiga pengertian yang saling berkaitan. Banua dalam arti yang pertama berati langit, menurut cerita rakyat yang masih hidup di sana nenek moyang penduduk Nias berasal dari suatu kerajaan diatas langit yang bernama Kerajaan Teteholi’ana’a. Banua dalam arti yang kedua adalah suatu susunan masyarakat yang terdiri dari seorang pemimpin yang disebut “Salawa” (yang tertinggi, didampingi oleh beberapa pembantunya yaitu “Tambalina” atau orang yang kedua. Golongan yang ketiga yaitu “Sifao” (yang turut serta) atau “Solo’o” (pengikut) yaitu mereka yang terdiri dari anggota biasa yang menyatakan dirinya ikut dalam suatu banua tertentu.
Banua ini adalah suatu kelompok sosial pada tingkatan pertama dan kumpulan dari beberapa banua mewujudkan suatu kelompok sosial yang lebih tinggi yang disebut “Ori”.[4]
Masyarakat Nias juga sudah mengenal pelapisan masyarakat. Pada zaman dulu, masyarakat Nias mengenal empat lapisan masyarakat,[5] yakni:
a.         Siulu (bangsawan)
b.        Ere (pemuka agama)
c.         Ono mbanua (rakyat jelata)
d.        Sawuyu (budak).[6]
2.1.4.                                               Keadaan Ekonomi
Penduduk daerah ini sebagian besar bekerja sebagai petani, karena di daerah itu mempunyai dua musim yaitu hujan dan kemarau yang datang silih berganti. Pada umumnya ladang yang dikerjakan sekitar bulan Mei-juni tiap tahun, dan sawah pada bulan Juli daan Agustus. Tanaman yang mereka tanam yaitu padi, tanaman palawija seperti: ubi rambat, ketela pohon, kacang dan lain-lain. Selain bertani masyarakat Nias juga umumnya beternak babi, karena bagi masyarakat Nias, babi mempunyai peran penting dalam seluruh kehidupan sosial budaya Nias. Sehingga diantara seluruh tanaman palawija tersebut, ubi rambat adalah tanaman yang penting yang baru dipungut hasilnya setelah panen padi. Dan dianggap penting karena ubi rambat merupakan bahan makanan penduduk utama bagi ternak babi yang dipelihara oleh hampir semua masyarakat Nias.[7]
2.1.5.                                               Keadaan Politik
Di dalam masyarakat Nias dikenal sistem pemerintahan bertingkat, yang terdiri dari:
a.         Ngafu/fongambatö (keluarga), yang dipimpin oleh seorang bapak sebagai kepala keluarga.
b.        Banua (kampung), merupakan kesatuan dari beberapa ngafu/fongambatö yang terikat dalam satu kekerabatan, dan dipimpin oleh seorang Salaŵa (Kepala Kampung).
c.         Őri, yang merupakan pemerintahan tertinggi. Őri merupakan pemerintahan yang terdiri dari beberapa banua yang dipimpin oleh Tuhenöri. Tuhenöri mempunyai beberapa staf yang disebut Tambalina, Fahandrona, dan Sida’öfa. Dalam pemerintahan ini terdapat undang-undang atau peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat Nias dalam satu öri. Hukum atau peraturan ini disebut fondrakö.[8] Hukum ini diformulasikan pada sidang raksasa yang diadakan sekali dalam tujuh tahun, yang khusus di Nias Selatan fondrakö ini dikenal dengan nama famadaya saembu dan famadaya harimao.[9] Peserta sidang hukum fondrakö ini terdiri dari para tua-tua adat, tokoh-tokoh masyarakat, hulubalang-hulubalang dan rakyat keseluruhan dari satu atau beberapa öri.[10]
Sesudah kemerdekaan mulailah diterapkan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dikenal sebagai desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi. Masing-masing pimpinannya dipilih secara demokrasi. Dengan tidak berfungsinya Tuhenöri maka Fondrakö berangsur-angsur mulai hilang, diperkuat dengan penghapusan öri dalam struktur pemerintahan.
2.2.            Masuknya Injil ke Nias dan Perkembangan Kekristenan di Nias (1865-1992)
2.2.1.                                                    Kekristenan pada masa Belanda (1865-1930)
Pemberitaan Injil di Pulau Nias, pertama sekali dirintis oleh dua orang misionaris Katolik yakni Pere Wallon dan Pere Barart dari badan zending Mission Etrangers de Paris pada tahun 1822/1823. Namun, mereka tidak berhasil membaptis orang Nias karena setelah tenggang waktu yang belum lama, karena hanya 3 hari setelah mereka berada di Nias, seorang diantara meninggal dunia, sedangkan yang lainnya keduanya meninggal dunia dalam jangka waktu yang berlainan (sekitar 3 bulan) karena penyakit malaria.[11]
            Pada tanggal 27 September tahun 1865, misionaris Protestan yakni Ludwig Ernst Denninger datang untuk memberitakan Injil di Nias setelah belajar bahasa Nias, dan mengenal sedikit budaya Nias kepada orang-orang Nias yang merantau di Padang. Denninger diutus oleh badan zending RMG[12] yaitu salah satu badan zending Jerman. Denninger mengajar para pemuda membaca dan menulis. Pada tahun 1873 RMG mengutus J.W Thomas dan membuka pos pekabaran Injil di Ombölata, dan Kramer (1874) menetap di Hilina’a, Nias. Di sanalah mereka membaptis orang Nias. Sehingga sejak tahun 1873-1876, ada 63 orang yang dibaptis dalam 3 periode waktu yaitu tahun 1874 tepat di hari Paskah 25 orang oleh Kramer di kampung Hilina’a, 6 orang di Ombӧlata tahun 1875 lalu disusul 32 orang di Faechu oleh Thomas. Dalam tahun 1876 itu ula berdiri gedung gereja di Ombӧlata. Inilah gedung gereja yang pertama didirikan diatas pulau Nias yang disusul kemudian oleh gedung gereja di Faechu pada tahun 1880.[13]
            Pada tahun 1876 W.H. Sundermann datang di Gunungsitoli dan membuka pos pekabaran Injil di Dahana. Dia menulis beberapa buku tentang iman Kristen dan pengetahuan umum seperti yang diajarkan di sekolah biasa di Jerman, sebagai pedoman pelajaran bagi pemuda. kemudian ia mengumpulkan pemuda setempat dan mengajar mereka membaca dan menulis. Inilah permulaan berdirinya sekolah guru di Nias. Pada tahun 1881 datanglah utusan RMG yaang bernama J. A. Fehr. Ia menggantikan Thomas di Ombölata, sementara Thomas sendiri membuka pos pekabaran Injil di Sa’ua., ia menetap di Ombölata, dan Allet (1896) diutus ke Sirombu (Nias Barat) di Tugala Lahömi, ia membaptis sebanyak 72 orang (Tugala Lahömi dan Lahusa). Setelah itu, Sporket (1899) datang di Moro’ö dan memberitakan Injil di sana, dan W. Hoffman di Hinako. Mereka membangun jalan raya, membuka perkebunan kopi, karet, kelapa, cengkeh, dll, untuk tujuan kelancaran pemberitaan Injil.[14]
Faktor-faktor yang menyebabkan pekabaran Injil sangant lambat dan tidak bisa bergerak ke daerah yang lebih jauh dalam periode ini ialah:
  1. Tidak ada jaminan keamanan di seluruh pulau Nias. Sebab pemerintah Belanda baru menguasai Gunng Sitoli pada tahun 1890, namun perlawanan penduduk dibagian selatan masih belum terpatahkan.
  2. Penduduk yang terpencar-pencar dalam kesatuan-kesatuan kampung yang tersebar di seluruh pulau Nias, dan sukar untuk dicapai dengan jalan kaki.
  3. Kepercayaan penduduk dalam agama suku.[15]
Dengan demikian, sejak tahun 1891-1916, usaha pekabaran Injil telah sampai di pedalaman, daerah Nias Barat.
2.2.2.1.Masuknya Injil di Nias Bagian Tengah Sampai ke Pantai Sebelah Barat
Pada tahun 1896, Sundermann pindah ke Lölöwua (18 km sebelah barat Gunungsitoli) dan membuka pos pekabaran Injil di daerah itu. Di sini ia menterjemahkan Alkitab dan Kathekismus Luther ke dalam bahasa Nias. Pada tahun 1905, E. Fries tiba di Nias dan membuka pos pekabaran Injil di Sifaoro’asi (55 km sebelah barat daya Gunungsitoli). Empat tahun kemudian, terjadilah pembaptisan dan peresmian gedung gereja yang pertama di daerah itu.[16]
Setelah RMG membuka jalan yang tembus ke kampung-kampung, akhirnya pada tahun 1892 A. Lett membuka pos pekabaran Injil di Tugala-Sirombu (sebelah barat Pulau Nias). Setahun kemudian, H. Lagemann membuka pos pekabaran Injil di Lahagu (35 km sebelah barat Gunungsitoli). Pada tahun 1899, Sporket membuka pos pekabaran Injil di Lölömboli dan bersamaan dengan itu dibuka pula di Hinako pos pekabaran Injil oleh W. Hoffman. Tahun 1905 dibuka pos pekabaran Injil di Tugala-Oyo oleh Pilgenroder dan tahun 1906 di Lölömoyo oleh Bassfeld. Berawal dari sini, Injil disebarkan di seluruh wilayah Nias sebelah barat dan tengah, termasuk Pulau-pulau Hinako.
2.2.2.2.Masuknya Injil di Daerah Pantai Sebelah Timur Sampai di Nias Sebelah Selatan
Pada tahun 1891, J.W. Thomas membuka pos pekabaran Injil di Humene (11 km sebelah selatan Gunungsitoli). Sebelumnya ia pernah membuka pos pekabaran Injil di Sa’ua tetapi gagal karena perang saudara yang berkecamuk di antara para őri. Penduduknya miskin dan wabah penyakit melanda desa itu sehingga penduduk tertarik dengan berita Injil.[17] Pada tahun 1893, 115 orang penduduk dibaptis.
Di sebelah utara Humene, Momeyer membuka pos pekabaran Injil di Sogae’adu pada tahun 1899, dan di Bio’uti pada tahun 1903 oleh Rabeneck dan di Baŵalia oleh Bieger pada tahun 1905. Di Hilisimaetanö berita Injil baru masuk dengan datangnya B. Borutta pada tahun 1911.[18]
2.2.2.3. Masuknya Injil di Nias Sebelah Utara
Pada tahun 1903, Pdt. Noll membuka pos pekabaran Injil di Bo’usö. Berita keselamatan ini dengan cepat tersiar di kalangan penduduk di sebelah utara melalui orang-orang yang datang dan pergi ke Bo’usö. Maka pada tahun 1910, tiga orang Salaŵa (kepala desa) yang dipimpin oleh Tuhenöri Ama De’ali dari Hilindruria datang kepada Pdt. Noll memohon supaya pos pekabaran Injil dibuka di Hilimaziaya. Dari sini berita Injil tersiar sampai ke ujung Nias sebelah utara, yaitu Afulu dan Lahewa. Akhirnya pada tahun 1922 dibuka pos pekabaran Injil di Lahewa oleh Pdt. Skubina.[19]
2.2.2.4.  Masuknya Injil di Pulau-pulau Batu
Pulau-pulau Batu merupakan suatu gugusan pulau-pulau yang terletak di antara Pulau Nias dan Pulau-pulau Mentawai. Daerah ini terdiri dari kira-kira 101 buah pulau-pulau kecil. Usaha pekabaran Injil dimulai pada tahun 1889 oleh Pdt. Johannes Kersten yang merupakan utusan dari lembaga Pekabaran Injil Lutheran di negeri Belanda.[20] Ia mendarat di Pulau Tello pada tanggal 25 Februari 1889. Seperti halnya di daratan Nias, di sini juga sering terjadi wabah penyakit dan peperangan antara kelompok penduduk. Pada akhir tahun 1889, datanglah Pdt. C.W. Frickenschmit dan disusul oleh Pdt. P. Landwer yang membuka pos pekabaran Injil di Sigata pada tahun 1896. Usaha mereka pertama-tama ialah membuka sekolah-sekolah di pulau-pulau yang berdekatan, dan dari sekolah-sekolah inilah diteruskan pekerjaan pekabaran Injil. Dengan cara demikian, mereka membuka pos pekabaran Injil di pulau-pulau Batu lainnya.[21]
2.2.3.                                           Pertobatan Massal (1915-1930)
Pada tahun 1916 berlangsunglah gerakan pertobatan massal di Pulau Nias, yang dalam bahasa Nias disebut “fangesa dödö sebua”.[22] Gerakan ini bertolak di wilayah Helefanikha, wilayah Humene dalam suatu kebaktian Perjamuan Kudus bulan April 1916. Dalam jangka waktu 2 – 3 bulan gerakan itu meliputi seluruh Nias daratan dan karenanya kekristenan berkembang dengan pesat. Pada tahun 1929 orang Kristen di Nias berjumlah 85.000 jiwa.
Peningkatan yang terjadi bukan hanya secara kwantitatif saja, tetapi juga dalam hal spritualitas. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya patung, ilmu-ilmu sihir dan racun yang dimusnahkan. Perselisihan dan peperangan di antara penduduk mulai berkurang, kerukunan mulai berkembang, ketaatan kepada pemerintah mulai dinampakkan. Pada tahun 1914 di Ombölata dibuka sekolah pendeta. Sekolah-sekolah juga sudah banyak yang berdiri.[23]
2.2.4.  Berdirinya BNKP
Setelah gerakan kebangunan mereda, para zendeling mulai memikirkan kemandirian gereja. Pada tahun 1936 selesailah mereka mencanangkan Tata Gereja.[24] Sinode pertama BNKP dilaksanakan pada bulan November 1936. Sinode BNKP yang baru berdiri itu dipimpin oleh Pdt. A. Luck dari RMG sebagai Ketua Sinode atau Ephorus hingga sampai pada tahun 1940. Pada awal berdirinya masih belum disahkan oleh Pemerintah Belanda tetapi pada tanggal 18 Maret 1938 Anggaran Dasar BNKP dinyatakan sah, yang dicatat dalam Lembaran Negara No. 138 YO 14 Desember 1948 No. 1857/18/AK/48. Keinginan pengurus RMG di Barmen supaya semua pekabar Injil bangsa Eropa otomatis menjadi anggota sinode dipenuhi, tetapi para zending menolak permintaan Kristen pribumi agar kepala suku ikut dalam sidang sinode. Pada tahun 1940 semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh gubernemen karena Jerman telah menyerang Belanda, maka fungsi Ketua Sinode diambil alih oleh seorang pendeta dari suku Nias yang bernama Atoföna Harefa.
2.2.5.                     Pada Masa Jepang (1942-1945)
Pada tahun 1942, para pendeta Belanda yang telah menggantikan orang Jerman yang ditawan itu di intenir pula oleh penguasa Jepang. Maka di sinilah gereja BNKP harus berdiri sendiri tanpa didampingi oleh para zending.[25] Berhubungan dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka semua tentara Jepang mengangkat kaki dari Pulau Nias karena kekalahan mereka dari perang dunia kedua dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki.
Hubungan BNKP dengan zending RMG Jerman terjalin kembali pada tahun 1951 dengan kedatangan dua orang utusan RMG yang bernama Pdt. A. Schneider dan Pdt. Dormann. Tetapi pada saat itu dalam BNKP mereka hanya berfungsi sebagai penasehat pimpinan gereja.
Sementara di Pulau-pulau Batu juga telah berdiri gereja dengan nama Banua Keriso Protestan (BKP) sebagai hasil pekabaran Injil yang dimulai pada tahun 1889 oleh zending Belanda. Gereja BKP berdiri tahun 1945 dan kemudian tahun 1960 BKP menggabungkan diri dengan BNKP pada persidangan sinode BNKP ke-25 yang berlangsung di Ombölata.[26]
2.2.6.      Terjadinya Perpecahan Dalam Tubuh BNKP Sejak Tahun 1933 – 1992
Sumber penyebab terjadinya konflik ini tidak hanya terjadi di tengah-tengah lingkungan keluarga, lingkungan pekerjaan baik dipemerintahan maupun di swasta tetapi juga di lingkungan masyarakat dan juga di lingkungan gereja di mana dan kapan pun kita berinteraksi dengan orang lain.
            Pada tahun 1933, muncul sekte yang menyebut diri sebagai kelompok persekutuan atau Fa’awösa yang kemudian menjadi Fa’awösa chö Yesu (Persekutuan kepada Yesus) dan Fa’awösa chö Geheha (Persekutuan di dalam Roh Kudus).[27]
1)      Gereja AMIN (1936 – 1940)
Salah satu penyebab berpisahnya gereja AMIN dengan BNKP adalah karena masalah mutasi. Pdt. Singamböwö Zebua tidak menerima keputusan pemimpin BNKP yang memindahkannya dari tempat pelayanannya ke Lahusa. Ketidakpuasan para pendeta BNKP terhadap keputusan-keputusan dari pemimpin BNKP dalam hal mutasi ini berujung perpecahan. Ditambah lagi ketidakpuasan jemaat atas pelayanan BNKP yang tidak memperhatikan jemaat yang ada di Humene. Keinginan untuk berpisah dari BNKP juga didukung oleh Tuhenöri Adolf Gea dan kepala kejaksaan yang berasal dari Manado, bernama Adris. Di sini terlihat adanya kepentingan pribadi dari pihak Tuhenöri Adolf Gea dan Idris.
Angowuloa Masehi Idanoi Nias (AMIN) kemudian berubah nama menjadi Agama Masehi Indonesia Nias (AMIN). Alasannya karena pemakaian “Idanoi” memberi kesan bahwa AMIN hanya mencakup sekitar wilayah Idanoi, sementara AMIN telah memiliki jemaat di berbagai daerah di Indonesia. Kemudian namanya diubah lagi menjadi Angowuloa Masehi Indonesia Nias (AMIN). Gereja AMIN sudah terdaftar sebagai anggota PGI dengan nomor urut PGI ke-52 dan LWF dan juga telah bergabung dalam PGID (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Daerah) Nias. Struktur organisasi kepemimpinannya yakni: Sinode dan Jemaat. [28]
2)      Gereja ONKP
Faktor penyebab berpisahnya ONKP dari BNKP berawal dari kecemburuan jemaat Nias Barat terhadap pelayanan BNKP. Dalam hal ini faktor kedaerahan berperan. Apalagi pada saat sidang sinode BNKP tahun 1950, Pdt. K.D. Marundruri merasa terhina karena ia tidak diberi kesempatan berbicara dalam sidang itu. Hal ini menyangkut masalah harga diri.
Pada tahun 1980-an ONKP telah menjalin hubungan kerja sama dengan gereja-gereja lain, di antaranya dengan GPM (Gereja Protestan Maluku) dan GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa). Hubungan kerjasama itu seperti pengiriman anggota ONKP untuk menuntut ilmu di STT GPM Ambon dan GMIM Manado dengan beasiswa dari gereja GPM dan GMIM. Kemudian pada tahun 1986 GPM mengutus Pdt. Th.J. Nanulaitta sebagai Tenaga Utusan Gerejawi (TUG) untuk melayani di Gereja ONKP dan berakhir pada tahun 1990.[29] Pada tahun 1988 Gereja ONKP telah terdaftar sebagai anggota PGI dan berpusat di Tugala Lahömi-Sirombu[30]
3)      Gereja BKPN dan GNKPI
Pada awalnya keduanya bergabung dengan nama BNKPI dan mereka berpisah dari BNKP karena beberapa alasan, pertama: ketidakpuasan beberapa pendeta atau para pelayan atas keputusan sinode BNKP di Ombölata tahun 1992 dan menganggap pemimpin BNKP bertindak otoriter. Kedua: pemilihan anggota BPMS tidak mencerminkan pewilayahan BNKP. Dalam hal ini faktor kedaerahan berperan. Ketiga: masalah keuangan yang menurut mereka telah dimanipulasi.
Sebelum BNKP berdiri pun, yakni pada saat jemaat masih di bawah pimpinan zending, juga pernah terjadi perpecahan di dalam jemaat yakni suatu kelompok jemaat yang menamakan dirinya Fa’awösa. Berpisahnya Fa’awösa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: adanya kepentingan pribadi, buktinya Thomas Lömbu tidak patuh terhadap peraturan zending dalam hal memimpin suatu persekutuan. Dalam hal ini mereka mengorganisir Fa’awösa sebagai suatu perkumpulan khusus dengan dana sendiri, terpisah dari jemaat pimpinan zending yang lain. Hal ini menunjukkan adanya pengelompokkan di dalam jemaat sehingga dapat memacu timbulnya perpecahan.[31]
Selain itu, masalah keuangan juga menjadi salah satu penyebabnya, di mana Fa’awösa tidak rela bila kas-nya diambil alih oleh pihak zending. Munculnya aliran Ama Haogö pada tahun 1960-an adalah satu-satunya kelompok yang berpisah dari BNKP disebabkan oleh masalah teologis.


[1] Nama kota Gunungsitoli berasal dari nama gunung yang terletak dalam pusat kota Gunungsitoli. Sementara nama gunung itu sendiri berasal dari nama seorang putra baginda Lochozitolu Zebua yang bernama Toli Ana’a dengan nama panggilan sehari-hari Katoli dan ia dikuburkan di gunung itu. Kemudian, Hiligatoli itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu yang berakulturasi dengan bahasa Nias menjadi Gunungsitoli, yaitu Hili = gunung; gatoli = ka Toli = si Toli atau Sitoli. Dalam dokumen resmi yang ditemukan, istilah Gunungsitoli muncul tatkala diadakan kontrak dagang VOC Belanda dengan raja dari Gunungsitoli, tertanggal 23 Maret 1693. Alasan pemakaian bahasa Melayu dalam istilah “Gunungsitoli” itu ialah karena bahasa Melayulah yang dipakai sebagai bahasa umum di seluruh Nusantara pada saat itu, dan orang Belanda telah banyak yang dapat berbahasa Melayu. F. Zebua, Kota Gunungsitoli: Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, (Gunungsitoli: t.p., 1992), 71, 73.
[2] W. Gulo, Benih yang Timbuh XIII, suatu survei menyeluruh tentang Banua Niha Keriso Protestan di Nias, (Semarang: Percetakan Satya Wacana, 1983), 2
[4] W Gulo, benih yang tumbuh, 4
[5] Pieter Lase, Menyibak Agama Suku Nias, (Bandung: Agiamedia, 1997), 17 – 20.
[6] Budak atau sawuyu, pada konsep asli tata kemasyarakatan Nias, tidak dijumpai. Kaum budak timbul kemudian karena beberapa alasan, misalnya: tawanan perang, orang yang tidak sanggup membayar utangnya lalu dijadkan budak, yang seyogyanya ia dihukum mati karena kesalahan yang cukup berat lalu ditebus oleh seorang bangsawan dan dia dijadikan budak. Bambowo Laiya, Op. Cit., (sendi-sendi masyarakat Nias), 26. Bnd. Peter Suzuki, The Religius System and Culture of Nias, Indonesia, S-Gravenhage: Uitgeverij Excelsior-Oranjeplein 96, 1959, 45. Zaman dulu kaum budak itu tidak ada, lalu ada beberapa waktu kemudian, dan zaman sekarang kembali tidak ada. Budak-budak yang dahulu dikenal di Pulau Nias, tidak kelihatan lagi saat ini, karena identitasnya sudah kabur dan mereka kemungkinan besar sudah berafiliasi dengan strata rakyat kebanyakan.
[7] Ibid, 2
[8] Fondrakö, yang dikenal oleh seluruh Ono Niha di seluruh Tano Niha merupakan kumpulan dan sumber segala hukum yang menjadi landasan hidup Ono Niha, baik sebagai perorangan maupun sebagai masyarakat. Pada dasarnya fondrakö itu menyuruh berbuat baik dan melarang segala corak kejahatan, serta memberi dorongan dan petunjuk untuk berbuat menurut jiwa dari fondrakö itu. Jiwa dari fondrakö itu yakni: masi-masi (kasih sayang), möli-möli (pengasuhan/pencegahan), rourou (pendorong berbuat/pengasahan). Sökhiaro Welther Mendröfa, Fondrakö Ono Niha, Jakarta: Inkultra Fondation Inc. 1981, 11. Bnd. Di dalam Fondrakö memuat norma untuk mencapai kepenuhan hidup yang terdiri dari 5 hal pokok: amonita (terkait dengan bakti sembah dan pantang), fokhö fo’ölö (mencari hidup), hao-hao (perilaku yang terpuji), fowanua (cara berkomunitas dalam kampung) dan böwö masi-masi (kasih sayang untuk anak dan orang yang berkesusahan). Marinus Telaumbanua, Budaya Nias Sekilas Pandang: Karakteristik Masyarakat Nias, (Gunungsitoli: t.p. 2008), 3
[9] Bambowo Laiya, Sendi-sendi Masyarakat Nias dalam Peninjau Volume 2 No. 1 tahun 1975,( Nias: t.p. 1975), 20
[10] J.M. Hammerle, Famato Harimo, (Nias: t.p. 1986), 63.
[11] W. Gulõ, Benih Yang Tumbuh 13, 6
[12] RMG adalah lembaga pekabaran Injil dari kawasan Rheinland, Jerman yang berasal dari lingkungan gereja yang menganut aliran Uniert (campuran Lutheran dan Calvinis). Sejak 1970-an RMG bergabung di Bethelmission dan berubah nama menjadi Vereinigte Evangelische Mission (VEM). Lalu sejak 1990-an bertahap berubah nama dan wujud lagi menjadi United in Mission (UiM), dengan memasukkan gereja-gereja mitra di dunia ketiga (Asia, Afrika dan Amerika Latin) menjadi anggota dan ‘pemilik’ harta benda sekaligus pemikul tanggungjawab pekerjaan badan ini. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK – GM, 1995, 23. Perubahan yang paling mendasar dari lembaga ini terjadi pada tahun 1996 ketika ia berubah menjadi lembaga Internasional bernama Vereinigte Evangelische Mission (VEM) atau dalam bahasa Inggeris: United Evangelical Mission (UEM). Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther & Relevansinya di Indonesia, (Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008), 251.
[13] W. Gulõ, Benih Yang  Tumbuh , 7.
[14] Th. Van den End, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 212.
[15] W. Gulo, Benih  yang Tumbuh, 9
[16] Ibid., 10.
[17] Para zending memberikan gratis kepada masyarakat pribumi yang pada saat itu diserang penyakit, misalnya: disentri, malaria, cacar dan lain-lain. Di sela-sela kegiatan pengobatan, para zending memberitakan Injil dan masyarakat Nias sendiri menjadi lebih terbuka kepada Injil itu dan meninggalkan pengobatan yang dilakukan oleh ere yang merupakan pemuka agama dalam agama suku Nias.
[18] W. Gulö, Benih yang Tumbuh., 11.
[19] Ibid, 12 -13.
[20] Th. van den End, Ragi Carita, 216.
[21] W. Gulo, Benih yang Tumbuh, 13
[22] Pada awalnya, seorang anggota jemaat yang bernama Filemo, terpukau oleh Firman Tuhan yang telah didengarnya di gereja. Di dalam hatinya tumbuh kesadaran bahwa dirinya tak layak di hadapan Tuhan. Ia menangis terus-menerus. Kemudian teman-temannya membawanya kepada zending yang ada di Humene. Pendeta tersebut menjelaskan bahwa Filemo sedang menyesali dosanya. Ia menganjurkan supaya Filemo minta maaf kepada orang-orang yang pernah ia berbuat salah. Dan orang kepada siapa ia minta maaf, akhirnya mengalami pula gejala yang sama dengan apa yang dialami oleh Filemo. Saling memaafkan itu akhirnya berkelanjutan hingga menyebar ke seluruh Pulau Nias.
[23]  Ibid, 13-18
[24] Fungsi Tata Gereja adalah menciptakan suasana sopan dan teratur dan menetapkan peraturan-peraturan yang harus diikuti untuk mewujudkannya. G. P. H. Locher, Tata Gereja-gereja Protestan di Indonesia, (Jakarta: BPK – GM, 1997), 218.
[25] Walter Lempp, Benih yang Tumbuh XII, (Semarang: Percetakan Satya Wacana, 1983), 19
[26] Majelis Sinode BNKP, Tata Gereja BNKP Tahun 2007, (Nias: t.p. 2007), 3.
[27] Pada tahun 1930-an ditemukanlah sekelompok orang Kristen di Sogae’adu yang berkumpul mengadakan kebaktian-kebaktian di hari-hari biasa, selain pada hari Minggu. Gerakan persekutuan ini tidak diatur oleh gereja atau para misionaris, melainkan atas inisiatif mereka sendiri. Gerakan persekutuan ini disebut “Fa’awösa” dan dipimpin oleh Thomas Lömbu atau juga disebut Ama Wohachi. Pertobatan Ama Wohachi berawal dari ketika ia kembali dari tugasnya sebagai mandor jalan. Sepulangnya bertugas dari Idanö Gawo, tepatnya pada tanggal 9 Nopember 1925 pukul 19.00 wib, tiba-tiba ia rebah, jatuh dan tidak sadar (pingsan) karena ia melihat suatu kilat di langit dan ada suara yang mengatakan: “He Toma, he Toma, he Toma, U tuyu ndra’ugö fakake-Gu ba niha si tefuyu tödö”, yang artinya: “Hai Thomas, hai Thomas, hai Thomas, Aku memilih engkau menjadi alat-Ku dan mengutusmu kepada orang sesat”. BPMS AFY, Sejarah Singkat AFY, Nias, 1-2.
Kemudian, mereka mulai mengorganisir Fa’awösa sebagai satu perkumpulan khusus dengan dana tersendiri. Setiap anggota Fa’awösa diwajibkan membayar iuran untuk dimasukkan ke dalam kas Fa’awösa yang jumlahnya telah ditentukan dan menurut mereka, segala peraturan itu diterima dari Roh Kudus. Pada saat itu, misionaris yang bertugas di Sogae’adu yang bernama Beel, memutuskan untuk mengambil alih penyimpanan kas Fa’awösa. Inilah yang menjadi alasan Fa’awösa untuk berpisah dari pimpinan zending. Mereka merasa telah ditindas dalam hal hak mandiri dalam bidang keuangan. W.A. Ginsel, Op. Cit., 25. Sedangkan menurut hasil wawancara dengan Pdt. Sab. Waruwu, S.Th (Ephorus Gereja AFY Periode 2006 – 2010) menegaskan bahwa bukanlah karena masalah uang penyebab Gereja AFY berpisah dari jemaat pimpinan zending, tetapi oleh karena persekutuan doa yang dipimpin oleh Thomas tidak seizin zending.
AFG sudah terdaftar di Departemen Agama sebagai suatu badan organisasi gereja. Susunan kepemimpinannya yakni: Sinode, Resort, Jemaat.
[28] Tuhoni Telaumbanua, Cross and Adu, (S-Gravenhage: Uitgeverij Boekencentrum-Zoetermeer, 2007), 223 – 224.
[29] Hasil wawancara Pdt. Ana Telaumbanua S.Th dengan Pdt. Th.J.Nanulaitta.
[30] A. Heuken Sj., Ensiklopedi Gereja (N-Ph),( Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), 51.
[31] Pernyataan di atas bukan bermaksud bahwa adanya kelompok-kelompok PA dapat menimbulkan perpecahan, tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika kelompok-kelompok tersebut mengklaim dirinya lebih rohani dari yang lain. Sehingga persekutuan itu diadakan untuk mencari kemuliaan mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar